Keanehan

28 13 4
                                    

Kumandang suara Adzan Subuh dari masjid yang letaknya tidak jauh dari rumah Satria, membuat pemuda itu menggeliat malas di kasurnya.

Suhu udara di kampung yang berada di perbukitan memang dingin jika pagi hari. Hal itu yang membuat Satria enggan beranjak, walau panggilan untuk Sholat berjamaah itu terus membangunkannya.

Cklek!

Daun pintu kayu kamar Satria terbuka, nampaklah Handoko yang sudah bersiap dengan sejadah menyampir di pundaknya yang masih kokoh itu.

"Astaghfirullah! Ini anak susah sekali bangunnya!"

Handoko pikir setelah tiga hari anaknya itu pindah di kampung, maka Satria akan terbiasa bangun pagi dan Sholat berjamaah di masjid. Akan tetapi, nyatanya tidak demikian. Satria masih tetap sama, kebluk!

"Satria! Bangun! Cepat siap-siap ke masjid, sebelum Iqamat," tegur Handoko.

"Duh, Ayah. Lima menit lagi, aku ngantuk..." rengek Satria sambil menarik kembali selimutnya dan dia menyelimuti tubuhnya hingga batas kepala.

"Oh... Lima menit lagi? Kamu mau kita Sholat sekarang, atau kamu Ayah Sholatkan?" ancam Handoko.

Satria yang mendengar kalimat terakhir ayahnya itu langsung bangun dengan buru-buru, dia menatap wajah datar sang ayah.

"Ayah, masa gitu? Gila aja masa masih muda gini di Sholatkan? Belum juga punya pacar," protes Satria.

"Protes aja nomor satu. Pacar pacar, kuliah aja yang bener sono. Dah sama mandi cepetan!" hardik Handoko.

Handoko kadang bingung, putranya ini mirip dengan siapa? Kenapa susah sekali bangun pagi dan Sholat Subuh.

"Perasaan dulu aku waktu masih mudah nggak gini-gini maat deh, kenapa si Satria malah susah banget yak..."

Lelaki berusia hampir lima puluh tahun itu berjalan menuju lantai satu dan menunggu putranya selesai bersiap-siap.

Tidak butuh waktu lama bagi Satria untuk membersihkan diri, mandi ayam lah katakan. Peci yang dia kenakan saja miring ke kiri, untung saja bukan pakai topi. Kalau topi miring kan berabe.

"Lama amat! Buruan!" sungut Handoko.

"Iya... Iya... Ayahanda..." Satria hampir terkekeh saat dia menyambut keluhan ayahnya.

Ayah dan anak itu pun berjalan menuju masjid, yang sesekali Handoko dan putranya saling bertukar cerita. Ketika keduanya melewati rumah nomor 13, pandangan mata Satria tertuju pada rumah tersebut.

"Ayah, rumah itu emang nggak ada orangnya ya? Nggak pernah ku lihat penghuninya keluar rumah," ucap Satria.

Pemuda itu mulai curiga dengan tetangganya yang itu, walau rumah yang memisahkan rumahnya dengan rumah nomor tiga belas itu kosong. Namun, Satria terkadang sering melihat bayangan berkelebat di dalam rumah tersebut, saat dia baru pulang dari kampus atau saat dia pergi dan pulang dari masjid.

"Ayah kurang tahu apa ada penghuninya atau tidak, gimana kalau matahari sudah menyongsong kita berkunjung saja?" usul Handoko.

"Hah? Yang benar saja. Kalau Ayah mau, ya Ayah saja. Satria nggak mau terlibat terlalu dalam dengan para penduduk.

"Jangan begitu, Satria. Kita ini sekarang hidup di kampung, jadi kita harus berbaur dengan tetangga sekitar. Ingat pepatah yang mengatakan di mana langit dipijak di situ bumi dijunjung," tutur Handoko.

"Kebalik Ayah, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjun," celoteh Satria mengoreksi pepatah yang diucapkan ayahnya tadi.

"Nah itu dia! Sudah ayok jangan ngobrol mulu, ketinggalan Shaf nanti kita."

Handoko berjalan beberapa langkah di depan Satria, sementara putranya itu masih terpaku pada rumah yang baru saja dia lewati. Di sekitar rumahnya masih banyak semak belukar dan pohon-pohon besar. Rumah penduduk saja hanya ada lima, termasuk rumahnya, rumah kosong, dan si rumah nomor tiga belas itu.

Srak..!

Gorden jendela rumah yang menarik perhatian Handoko itu tiba-tiba terbuka, padahal tidak ada orang yang membukanya. Dari tempatnya berada saat ini juga dia dapat melihat sorot mata berwarna merah tengah menatapnya.

Brak!

Terdengar suara seperti benda yang dilempar dengan sangat kuat. Namun anehnya hanya dirinya sendiri yang mendengar suara tersebut, sang ayah masih menasihatinya.

Sraakk!

Gorden jendela itu kembali dibuka, tapi tak lama kemudian ditutup kembali. Seakan memang ada yang sengaja menakut-nakuti Satria.

"Hah? B--Bagaimana bisa?" gumam Satria yang bingung dengan apa yang dia lihat.

Kejanggalan itu kembali dia lihat tatkala daun jendela rumah tersebut juga ikut terbuka lebar, padahal tidak ada orang, tidak pula ada angin. Lalu siapa yang membuka gorden dan jendela tersebut?

Tidak mau ditinggal ayahnya, Satria langsung berlari menyusul sang ayah. Saking takutnya, dia hampir saja menabrak sang ayah dan jatuh tersungkur.

"Astaghfirullah! Nih anak, ngapain jatuh bangun kayak gitu?"

"N--nggak apa-apa, Yah. Ayok buruan, Yah... Cepet..." Satria menarik lengan ayahnya, agar mereka segera meninggalkan tempat tersebut. Debaran jantung Satria begitu berisik, keringat dingin juga mulai membasahi keningnya. Walau Handoko heran dengan tingkah putranya itu, tapi dia tidak menanyakan lebih lanjut.

Satria juga tidak langsung memberitahu Handoko atas apa yang baru saja dia lihat beberapa saat lalu, biar nanti saja setelah pulang Sholat Subuh. Dia lebih memilih meninggalkan tempat itu, berada di masjid mungkin bisa membuat Satria jauh lebih tenang.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Sekar ( Penghuni Rumah Nomor 13 )Where stories live. Discover now