Satria kenapa?

9 6 0
                                    

"Ayah! Kok sudah pulang? Bukankah besok Ayah baru pulang?"

Satria hampir saja jantungan sebelum dia membuka pintu, pikirannya sudah membayangkan yang datang adalah Sekar atau Pak Baskoro.

"Kamu ini kenapa malah kaget begitu lihat Ayah pulang? Ayah khawatir ninggalin kamu lama-lama, masak aja nggak bisa," omel Handoko.

"Loh, kamu temannya Satria?" tanyanya saat dia melihat Roni untuk pertama kalinya.

"Benar, Om. Kemarin saya menginap di sini, maaf sebelumnya nggak izin dulu, hehehe..."

"Ya nggak masalah, toh sama-sama laki-laki. Kalau si Satria bawa pulang wanita, Om hajar dia."

"Gitu amat, Yah. Gini-gini aku masih punya hati," sanggah Satria.

Handoko terkekeh mendengar jawaban putranya itu, sebab walau terkenal sebagai playboy Satria belum pernah sekali pun membawa perempuan yang dikenalkan sebagai kekasih.

"Kalian pasti belum makan, Ayah belikan makanan. Kamu nggak bilang ada teman yang menginap, jadinya Ayah nggak beli banyak."

"Nggak apa-apa kok, Om. Terima kasih banyak," sahut Roni.

Cacing-cacing diperutnya sudah berontak dari pagi, apa lagi sekarang dia mencium bau wangi makanan yang dibawah ayah Satria. Makin semangat lah para penghuni perut Roni.

Roni melesat ke arah dapur dan tidak lupa mengambil makanan yang dibawakan ayah temannya itu, sebagai orang yang menumpang dia setidaknya menyiapkan peralatan makan.

"Temen kamu energik sekali ya, rame orangnya."

"Iya begitulah dia, Yah. Mau gimana lagi anaknya emang rame sih."

Handoko menatap wajah putranya yang terlihat lesu, "Kamu baik-baik saja, Nak? Semalam Ayah nggak enak hati, Ayah hubungi nomermu tapi nggak terhubung. Mau pulang juga sudah tidak ada kendaraan umum."

Satria ragu apa dia harus menceritakan yang dia alami semalam, sebelumnya juga sang Ayah tidak percaya dengan apa yang dia katakan.

Cukup lama Satria terdiam, pemuda itu masih menimbang untuk bercerita dengan ayahnya. Namun untuk sekarang, dia memang ingin berbagi sedikit beban pikirannya. Satria merasa jika dia memendamnya terlalu lama, dia yang akan gila.

"Kalau kamu nggak mau cerita ya nggak apa-apa. Cerita lah kalau kamu siap, Nak."

"Yah, Ayah percaya nggak kalau aku bilang semalam aku habis berhadapan dengan mahluk halu?"

Handoko yang tadinya hendak menyusul Roni pun  mengurungkan niatnya. Dia kembali duduk berhadapan dengan Satria. Firasatnya mengatakan kalau dia harus mendengarkan apa yang akan diucapkan oleh putranya itu.

"Apa maksudmu?"

Satria menunjukkan luka di lengannya, luka bekas cakaran yang tidak lazim. Luka tersebut masih mengeluarkan sedikit darah,  kulit di sekitar luka juga membiru.

"Gimana bisa kamu terluka seperti ini? Apa yang sebenarnya terjadi?"

Handoko terkejut saat melihat luka di lengan putranya. Memang luka itu seperti cakaran yang cukup dalam, hanya saja luka itu juga terlihat seperti luka terbakar. Handoko tidak bisa membayangkan betapa sakitnya saat putranya mendapatkan luka tersebut.

Satria pun menceritakan dari awal hingga akhir apa yang terjadi padanya, tidak terkecuali tentang Roni yang berusaha membantu tapi justru segarang tidak memiliki ingatan apa pun tentang kejadian tadi malam.

Tidak ada yang terlewat dari cerita Satria, dia tidak peduli lagi jika ayahnya menganggap dirinya seorang pembual. Satria akui bahwa dia tidak bisa menghadapi dan melawan Noni Belanda itu seorang diri. Sebab selama ini tiap kali Satria bercerita tentang rumah tersebut, ayahnya selalu meragukan ucapannya.

"Astaghfirullah... Jadi apa yang kamu katakan selama ini benar semua, Sat?"

Satria mengangguk lemah, dia pun tidak tahu kenapa bisa melihat makhluk halus yang selama ini tidak pernah Satria lihat. Apakah karena dulu dia tinggal di kota besar, makanya dia tidak merasakan apa pun?

Namun bukankah makhluk halus itu ada di mana pun kita berada?  Bukankah memang kita ini hidup berdampingan dengan mereka, hanya saja kita tidak bisa melihat mereka. Namun mereka dapat melihat kita.

"Nggak bisa dibiarkan, Sat. Kita harus melakukan sesuatu," ucap Handoko. Lelaki itu akhirnya menghubungkan semua yang Satria katakan padanya terkait tetangganya tersebut. Handoko kini  menyadari bahwa apa yang dikatakan Satria, semuanya itu benar.

"Melakukan apa, Yah? Apa Ayah punya solusi?" tanya Satria tidak paham dengan arah pembicaraan ayahnya.

"Gimana kalau kita pergi ke orang pintar?" usul Handoko.

"Kok orang pintar? Minimal ustad lah, Yah. Masa ke dukun. Musyrik namanya, dosa besar," ujar Satria.

Handoko menghela nafas, dia membenarkan apa yang dikatakan putranya.

"Baiklah, Ayah akan bertanya dengan saudara Ayah. Mungkin dia punya kenalan ustad yang bisa menangani hal ini, Sat."

Saat keduanya hendak membicarakan lebih lanjut, Roni memanggil keduanya untuk makan bersama.

"Kita makan dulu, setelah itu baru kita pikirkan lagi," ajak Handoko.

Satria mengikuti langkah ayahnya, dia bersyukur setidaknya ayahhya percaya dengan apa yang dia ceritakan. Dengan begitu, ada orang yang bisa mengetahui situasinya.

"Satria...." Sebuah suara seorang perempuan beberapa kali memanggil Satria.

Ketika Satria hendak duduk, samar-samar dia mendengar suara seseorang memanggil dirinya. Satria mengurungkan niatnya, dia malah berjalan menuju halaman belakang rumahnya.

"Sat! Woy, mau ke mana?" tegur Roni.

"Satria, kamu mau ke mana, Nak?" Handoko pun heran dengan tingkah putranya, padahal ada nasi Padang kesukaannya tapi Satria malah meninggalkan meja makan.

"Om, Satria kenapa? Dia nggak dengar panggilan kita, macem orang kesambet," bisik Roni.

Handoko menyadari satu hal, anaknya kini sepertinya memang sedang dikendalikan oleh seseorang. Ayah dua anak itu bangun dari duduknya dan mengejar Satria. 

"Kita ikuti Satria, Om punya firasat buruk." Pinta Handoko pada Roni.

Keduanya bergegas mengekori langkah Satria yang cepat, tidak seperti biasanya. Cuaca di luar ternyata juga mendung. Gemuruh petir dan kilat saling menyambar di atas sana. 

Sekar ( Penghuni Rumah Nomor 13 )Where stories live. Discover now