Tangisan Sekar

8 6 1
                                    

Satria terbangun dari pingsannya, entah sudah berapa lama dia tidak sadarkan diri. Satria mengucek matanya dan melihat keadaan sekelilingnya. Rasa sakit di tubuhnya kembali terasa.

Sepertinya hantu itu sudah pergi, ruangan yang sebelumnya gelap gulita itu kini sedikit ada cahaya yang masuk dari celah jendela.

"Sepertinya di luar sudah pagi atau mungkin siang. Ayah pasti khawatir, aku hilang begitu saja." Satria tidak bisa memikirkan hal lainnya, sebelum dia hilang kesadaran dia seperti melihat wajah ayahnya yang sedang menangis.

Padahal dari kecil  dia belum pernah melihat sang ayah mengeluarkan air mata, bahkan ketika perceraian ayahnya dengan ibunya. Satria sungguh merasa bersalah, dia yang semenjak pindah ke kampung halaman kakeknya itu selalu komplain ini dan itu tanpa mau mengetahui perjuangan ayahnya.

Satria mencoba bangun dari posisi baringnya, sekujur tubuhnya kaku dan sakit semua. Dia bahkan mengira tulangnya mungkin ada yang patah. Manusia normal mana yang tidak mengalami sakit dan kerusakan di tubuhnya setelah dilempar dan dibanting seperti karung goni?

Satria berjalan tertatih dan menjadikan tembok ruangan sebagai alat bantunya, dia ingin mencari jalan keluar. Apa yang dirisaukan Satria hanya ayahnya, sang ayah pasti mencari dirinya.

"Brengsek, sepertinya nggak ada pintu keluar. Pintu ini juga terkunci," gumam Satria. Ada dua pintu keluar yang Satria temukan, pertama pintu dan jendela yang letaknya cukup tinggi.

Dilihat dari ukuran jendela itu, mungkin Satria bisa melewatinya. Hanya saja, bagaimana caranya dia meraih jendela tersebut. Sementara dia sendiri kondisinya sedang tidak baik-baik saja.

"Sebenarnya nih hantu punya masalah apa sama aku? Apa kesalahanku sampai dia dendam banget. Lagian aku pun kenal juga nggak dengan Sekar itu. Kenapa nih hantu Noni Belanda justru yang uring-uringan?" Satria tidak habis pikir dengan apa yang terjadi padanya.

Padahal Satria juga tidak berbicara kasar atau tak senonoh, meskipun dia memang tidak bisa menyangkal bahwa dia penasaran dengan Sekar. Satria rasa hal itu wajar saja, mengingat bagaimana rupa Sekar. Gadis yang memiliki kulit pucat pasi, tidak pernah tersenyum dan tanpa ekspresi.

Satria kembali duduk, kakinya tidak cukup kuat untuk menopang tubuhnya lagi. Baru kali ini Satria yang dikenal sebagai seorang atlet taekwondo, malah lemah tidak berdaya seperti sekarang. Kalau saja pelatihnya tahu, pasti dia akan menjadi bahan roasting. Atlet kok loyo.

Selain tubuhnya yang remuk redam, cacing-cacing di perutnya pun turut berontak. Sudah sehari lebih berarti dia belum makan apa pun. Walau dirinya sudah biasa berpuasa, tapi Satria baru kali ini tidak makan atau minum setetes air pun. Dipegangnya perutnya yang rata namun ber-sixpack.

"Aku lapar. Sekarang aku paham gimana rasanya orang yang kelaparan selama sehari dua hari bahkan tiap hari. Aku jadi ingin makan masakan Ayah, walau rasanya tidak enak setidaknya masih bisa di makan," gumam Satria.

Rasa bersalah kembali melanda hati Satria, dia sering sekali mengeluh makanan yang dibuat ayahnya tidak seenak masakan ibunya. Tidak jarang Satria lebih memilih memesan makanan di luar dari pada makan masakan sang ayah.

"Maafkan Satria, Ayah. Satria janji tidak akan mengulangi hal yang sama," ucap Satria. Kepalanya dia coba dongakkan, dia sangat yakin jika tidak demikian pasti air matanya akan deras mengalir.

Entah sudah berapa kali Satria hanya bisa menelan ludah, itu juga teramat payah. Sebab tidak ada asupan air sebelumnya. Di saat pikirannya melayang jauh, pintu ruangan itu terbuka.

Refleks Satria melihat ke arah pintu, betapa kagetnya dia saat mengetahui siapa yang datang. Seorang gadis yang sangat dia kenal, iya gadis tanpa ekspresi dan kulit sepucat mayat.

"Sekar?"

Sekar tidak menyahuti Satria, gadis itu langsung menutup pintu. Wajahnya tidak ada perubahan apapun. Datar tanpa ekspresi, seakan Sekar ini boneka atau makhluk yang tidak bernyawa.

"Maafkan aku," ucapnya dengan suara lirih. Sekar melabuhkan dirinya di lantai tepat di depan Satria duduk.

"Maaf? Memangnya kenapa?" tanya Satria yang bingung akan maksud Sekar.

Sekar bungkam, dia hanya menunduk tanpa berani menatap wajah Satria.

"Apa yang kamu sembunyikan, Sekar? Kamu tahu hantu itu 'kan? Aku ingat kamu berkomunikasi dengannya. Semalam juga hantu itu mengungkit namamu, tapi aku tidak mengerti apa yang dia ucapkan." Satria tidak tahu harus menjawab permintaan maaf Sekar seperti apa, sebab dia juga tidak tahu letak kesalahan Sekar di mana.

Perlahan Sekar menatap Satria, tatapannya kosong. Keanehan kembali Satria rasakan, gadis itu memang ada di depannya. Namun entah kenapa dia merasa Sekar tidak ada di tempat itu. Ada raga tapi tidak ada jiwa, setidaknya itu yang Satria simpulkan.

"Sekar? Kenapa diam? Apa sebenernya yang terjadi? Siapa hantu itu?" Satria masih belum menyerah untuk mengulik rahasia yang disembunyikan si gadis.

Satria merasa tidak adil, kenapa dia harus mengalami semua hal buruk. Padahal dia baru pindah ke kampung ini, dia juga belum begitu mengenal tetangga-tetangganya. Termasuk Sekar.

Satria mendengus kesal, pasalnya Sekar tidak memberikan respon apa pun. Mulut gadis itu bungkam seribu bahasa, hanya tatapan kosong saja yang Satria dapatkan.

"Baiklah, kalau kamu nggak mau cerita. Aku akan cari tahu sendiri apa hubungan kamu dengan makhluk tersebut. Apa jangan-jangan orang tuamu juga terlibat? Setidaknya keluarkan aku dari sini, kamu bisa kan?" tanya Satria.

Ada yang aneh dengan Sekar, di saat gadis itu hendak bersuara tapi mulutnya kembali rapat. Seolah ada yang mengendalikan tubuh Sekar. Tidak begitu lama, Sekar menggeleng.

"Maksudmu kamu tidak bisa mengeluarkan aku dari sini? Kenapa? Apa salahku? Apa yang telah aku perbuat padamu dan keluargamu, Sekar?" Satria yang sudah lelah menahan emosinya itu melampiaskan apa yang ada di hatinya.

Jika saja orang yang ada di depannya ini bukan wanita, Satria pasti sudah menghajar Sekar. Biarlah tubuhnya hancur sekalian, yang penting dia bisa melepaskan amarahnya.
Sorot mata tajam Satria rupanya berdampak pada Sekar, bulir air mata gadis itu menyeruak.

"Ngapain kamu menangis, hah? Harusnya aku yang nangis, tahu nggak!" jerit Satria.

Satria mengacak rambutnya, sungguh frustasi dalam situasinya saat ini. Satria sangat lemah dengan air mata wanita, dia akan teringat ibu dan adiknya. Mau menghibur Sekar juga bagaimana? Sementara dirinya juga butuh penghiburan. Jiwa dan raganya sudah lelah, Satria tidak ingin meminta banyak. Dia hanya ingin keluar dari tempat terkutuk itu.

Sekar ( Penghuni Rumah Nomor 13 )Where stories live. Discover now