Chapter 3: Trauma masa lalu

480 49 3
                                    

"Ayah, bisakah ayah menghadiri acara kelulusan di sekolahku?" Gadis yang sudah menginjak umur 12 tahun itu menunduk sambil memainkan jemari kecilnya.

Sang ayah menurunkan koran yang sedang dibacanya. "Apakah bu guru yang memberi tahunya?"

"Iya, bu guru bilang acaranya minggu depan."

Lelaki berkepala tiga itu mengusap surai anak perempuannya halus. "Baiklah, sepertinya ayah bisa."

"Janji ya?!" Karina menatap ayahnya dengan mata berbinar sambil menyodorkan jari kelingkingnya.

"Janji," Balas ayahnya kemudian menautkan jari kelingkingnya dengan jari gadis itu.

Senyuman cerah seketika terukir di wajah Karina. Tanpa sadar seseorang sejak tadi memperhatikan keduanya dari dalam kamar.

Sehari sebelum upacara kelulusannya, mereka mendapat kabar bahwa Kirana jatuh ke sungai saat sedang bermain dan mengalami demam parah sehingga perhatian kedua orang tuanya terfokus pada Kirana.

Pada hari kelulusan, ayahnya mengingkari janji. Di hari itu Karina mendapat ejekan dari teman-temannya karena ayah maupun ibunya tidak ada yang datang. Mereka mengatakan kepada Karina bahwa kedua orang tuanya sudah tidak menyayangi dirinya lagi.

Saat itu Karina marah besar dan tanpa bisa dikendalikan, badannya bergerak memukul teman yang mengejeknya dengan piala yang saat itu Karina menangkan karena menjadi siswi dengan peringkat pertama di sekolahnya.

Amarah sesaat itu menjadi bencana, karena teman yang Karina pukul mengalami pendarahan hingga harus dibawa ke rumah sakit.

Karina saat itu menyadari tindakannya yang fatal, tetapi ia juga tidak bisa memperbaikinya karena merasa bahwa yang dirinya lakukan tidak sepenuhnya salah.

Pihak sekolah akhirnya memanggil kedua orang tuanya. Ibu yang selama ini terlihat seperti malaikat, kini sangat menyeramkan.

"Bisakah kamu tidak membuat masalah untuk keluarga kita sekali saja?! Bukan hanya tidak memperhatikan Kirana hingga membuat adikmu sakit seperti sekarang, tetapi kamu juga akhirnya ingin membunuh temanmu, hah?!!!"

"Masalah Kirana itu bukan salahku bu, aku sudah memberitahu Kirana bahwa disana berbahaya, tetapi dia-"

"Sekarang sudah begini kamu mau menyalahkan adikmu?! Apa kamu tidak berpikir bahwa saat ini Kirana masih kecil?!"

Karina hanya bisa menunduk dalam, tidak berani menatap wajah marah ibunya. Kedua tangan kecil itu mencekeram bagian bawah bajunya, matanya berkaca-kaca.

Dalam hati Karina berkata, "Tidak apa Karina, wajar ibu memarahiku karena aku lebih tua dari Karina. Semua ini memang salahku."

Sebagai hukuman, ibunya mengurung karina seminggu penuh tanpa makan di dalam kamar.

Hujan turun bersamaan dengan petir, tiba-tiba mati lampu dan Karina sangat ketakutan. Ia berteriak meminta tolong kepada ibu dan ayahnya untuk membukakan pintu tetapi nihil, tidak ada yang membantunya. Samar-samar Karina mendengar nyanyian merdu sang ibu dari dalam kamar.

"Bisakah ibu meyanyikanku lagu yang lain juga? Aku masih belum puas," Ujar Kirana dengan wajah bahagia.

"Tentu saja bisa. Untuk Kirana, apa pun akan ibu lakukan."

"Bahkan jika aku meminta bintang di langit?"

"Ya, bahkan bintang sekalipun." Suaranya terdengar sangat hangat saat mengatakan itu.

Karina tahu itu bukan dikatakan untuknya, ia hanya bisa berharap bahwa suatu saat dirinya juga akan mendengar perkataan yang diucapkan tulus hanya untuknya semata. Bukan kasih sayang palsu yang diterimanya selama ini

"Ayah pulang!!" Suara ayah membuat Karina tersadar, ia kembali menggedor pintu dengan harapan sang ayah pasti menolongnya.

"Karina masih di dalam sana?" Ayah sempat ingin membuka kunci pintu kamar Karina sebelum Kirana keluar dari kamar dan memanggilnya.

"AYAAAH!!!" Kirana memeluk lelaki yang masih memakai jas itu.

"Ayah, apakah ayah juga akan mengambilkan bintang untuk Kirana?" Matanya berbinar mengharapkan jawaban yang sama seperti ibunya.

"Tentu saja, Kirana kan anak kesayangan ayah." Ketiganya tertawa bahagia dan dengan cepat keberadaan Karina terlupakan.

Seluruh rumah seakan-akan menjadi hangat karena ketiga orang itu. Hanya ada satu tempat yang sangat dingin dan sepi, tempat itu adalah kamar Karina.

Tanpa melihatnya pun Karina bisa membayangkan kedua orang tuanya sedang memeluk Kirana, menjaga gadis itu tetap aman sedangkan dirinya terkurung dalam kamar yang gelap sendirian. Karina kecil hanya bisa memeluk kedua lututnya untuk mencari kehangatan.

Setelah kejadian yang membuatnya dikurung, hari-hari Karina semakin buruk. Tidak hanya diabaikan oleh ibu dan ayahnya, ia juga mengalami perundungan di sekolah karena dianggap sebagai anak yang dibuang oleh orang tuanya.

Teman-teman yang tadinya selalu ada untuknya tidak lagi menghampirinya, semuanya datang ke rumah mereka untuk menjenguk dan bermain dengan adiknya, mereka melewati Karina yang menyapa seakan dirinya hanya angin lewat. Kirana juga tidak lagi menerima ajakan bermain darinya.

Kini yang bisa Karina lakukan hanyalah belajar mati-matian untuk meningkatkan nilai akademiknya, ia juga mengikuti berbagai macam perlombaan mulai dari matematika, sains, seni, bahkan olahraga. Hampir di setiap perlombaan Karina mendapatkan juara.

Tapi tiba-tiba semuanya menghilang. Karina diikat dan dikurung di dalam ruangan yang sangat gelap.

"TIDAK BERGUNA!"

"PEMBAWA SIAL!"

"BUKANKAH DIA YATIM PIATU? HAHAHAHA"

"KUTU BUKU SIALAN!"

"JANGAN DEKAT-DEKAT LAGI DENGANKU!"

"INI SEMUA KARENA KAKAK!!!"

"KAU PANTAS MATI!!!"

🪡🧵

Gadis itu terbangun dengan napas terengah, tubuhnya penuh keringat, perutnya sangat mual seperti ingin muntah.

"Mengapa dari semua mimpi aku harus memimpikan masa lalu?"

Mata hazel itu menatap anak-anak yang masih terlelap di kanan dan kirinya, semuanya tidur beralaskan kain tipis, luka-luka menghiasi badan mereka seolah itu adalah hal yang wajar didapatkan. Pemandangan ini masih terlihat asing baginya.

"Benar, sekarang aku bukan lagi Karina."

- To Be Continued -

Aku gak tahu chapter kali ini nge-feel atau nggak buat kalian, tapi aku nulis chapter ini sambil nangis hahaha. Emang aku agak baperan juga sih

Sejujurnya aku gak pernah punya pengalaman kayak Karina sebelumnya, tapi membayangkan penderitaan itu sambil mencoba menggambarkannya dalam kata-kata entah kenapa bikin aku sedih juga.

Adakah yang nangis juga disini? Atau kesel doang? Kasih tau ya di komentar!

Kalo ada typo atau ejaan yang kurang benar tolong kasih tau aku ya! Jangan lupa like, komen, dan share juga~

-Ran

Emine IlonaWhere stories live. Discover now