Chapter 2: Malaikat... maut?

608 55 0
                                    

"Malaikat?" Secara tak sadar ia menyuarakan kata hatinya.

"Betul, tapi lebih tepatnya aku adalah malaikat pencabut nyawa," Jelas sosok itu dengan tenang.

Wujudnya sangat berbeda jauh dengan malaikat pencabut nyawa yang Karina bayangkan. Karena biasanya malaikat maut digambarkan mengenakan jubah serba hitam yang terlihat kumuh dan membawa tombak panjang dengan pisau melengkung seperti celurit yang entah apa namanya itu.

"Dulu memang seperti itu. Tetapi apa maksudnya dengan jubah hitam yang terlihat kumuh? Aku sangat tersinggung. Walau dulu kami mengenakan pakaian suram seperti itu, tetapi tidak sampai kumuh." Ocehan makhluk yang menyebut dirinya malaikat pencabut nyawa itu membuyarkan lamunan Karina.

Apa yang dikatakan sang malaikat maut mungkin saja, karena bisa jadi tidak hanya dunia manusia yang mengalami perubahan, alam baka juga bisa... eh, tapi sangat tidak masuk akal bukan? Lalu dimana senjata malai-

Pikiran berlebihan Karina dihentikan oleh tindakan sang malaikat maut yang mengeluarkan buku dan kacamata yang kemudian dipakainya seolah matanya mengindap rabun jauh.

"Aku tidak rabun. Dan menurut catatan seharusnya kamu belum mati saat ini, tetapi seolah ada bantuan dari pihak luar sehingga takdirmu berubah," Ujar malaikat maut itu dengan nada datar sambil matanya sesekali melirik buku yang sepertinya catatan kematian.

"Ternyata benar malaikat maut, bahkan ia bisa membaca pikiran. Sepertinya aku sudah mati, aku harus kembali-" Kata-katanya terhenti, Karina baru sadar dengan perkataannya sendiri.

Rahangnya terjatuh, mata Karina melirik makhluk di depannya seperti meminta validasi atas situasinya saat ini. Yang diberikan tatapan hanya bisa menghela nafas lelah kemudian mengangguk.

"Selamat datang di alam baka."

"Jadi, aku sudah mati?" Entah untuk keberapa kalinya Karina melontarkan pertanyaan itu. Sang malaikat maut yang lelah menjawab pun hanya menghela nafas.

Tetapi Karina memang masih tidak mempercayai situasi saat ini, semuanya terasa tidak nyata. Karina seperti bermimpi, karena apa yang ia alami benar-benar diluar nalar manusia.

Dirinya memang suka membaca novel fantasi dimana sang pemeran mati kemudian bereinkarnasi menjadi pemeran utama atau antagonis dalam cerita, walau begitu ia sama sekali tidak mengira akan mengalaminya sendiri.

"Aku tidak akan berbasa-basi, hentikan pikiran bodohmu itu. Situasi saat ini bukanlah mimpi, kau memang sudah mati karena kesalahanku. Aku akan bertanggung jawab dengan menaruh jiwamu ke dalam tubuh orang lain. Jangan pernah berharap untuk pulang dan anggap saja tubuh barumu nanti sebagai tubuh milik sendiri. Semoga beruntung."

Belum juga melayangkan protes, pandangannya kembali menghitam. Dalam hati Karina menyumpah serapahi malaikat pencabut nyawa yang tidak kompeten itu. Sudah salah mencabut nyawa, pelit penjelasan, bahkan sepertinya ia akan ditempatkan di tubuh sembarangan orang. Memikirkannya saja sudah membuat naik darah.

Lamunan Karina seketika buyar saat mendengar teriakan dari seseorang, ditambah dengan rasa perih di sekujur tubuh yang entah datang dari mana. Ternyata yang tadi berteriak memanggilnya adalah wanita yang terlihat seperti baru berkepala tiga.

Wanita paruh baya itu memegang cambuk dengan wajah yang bengis, rambut ikalnya kusut dan berwarna jingga seperti Merida di film Brave, tetapi tak sepanjang Merida, wajahnya seperti tidak terawat, ia juga memiliki freckles di kedua pipinya, mata berwarna hijau lumut itu memelototi Karina.

Tetapi yang membuat Karina tidak berhenti memandangi wanita itu adalah pakaiannya yang benar-benar sangat unik dan mengingatkan Karina pada tren busana Eropa pada abad ke-13 yang pernah ia lihat ketika mengikuti pameran busana abad pertengahan di Inggris. Saat itu ia masih seorang mahasiswa.

Emine IlonaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang