JIL03

114 43 34
                                    

Hallo, Sobat!

"Jadi anak tunggal itu nggak semenyenangkan yang dilihat orang. Sebab dia menjadi harapan satu-satunya di keluarga. Mau tidak mau, senang atau tidaknya, harapan itu harus dicapai sesuai keinginan keluarga."
— Helga Hermawan.

★★ HAPPY READING ★★

Dua hari ke depan Ayana memutuskan untuk menginap di rumah Helga. Dan sepertinya itu keputusan tepat dari pada di rumah sendirian—kesepian. Sekarang dirinya bersama keluarga Hermawan sedang duduk menyantap makan malam dengan suasana hangat.

Sesekali pak Hermawan menanyai bagaimana kegiatan di sekolah mereka. Tak jarang diselingi canda gurau di tengah acara makan malam. Ya, suasana seperti inilah yang Ayana inginkan sejak dulu.

"Kenyang banget. Masakan Bunda emang paling terbaik," ujar Ayana sambil mengangkat kedua jempolnya, setelah selesai menghabiskan makanannya.

"Bunda senang kalau kamu menikmati makanannya." Wulan mengelus pucuk rambut Ayana lembut.

“Dia kan pemakan segalanya, Bun.” Helga menatap ke depan, melayangkan tatapan mengejek ke Ayana. Memang hobi Helga sadari kecil menjadi Ayana.

Ejekannya barusan berhasil membuat wajah Ayana berubah merah padam karena menahan marah. “Iya, gue pemakan segalanya. Ntar lo gue makan sekalian,” kesal Ayana. Ia berdiri membawa piring kotornya ke wastafel. Meninggalkan Helga yang masih terkekeh.

“Nggak ada bosannya kamu dari dulu suka jaili Aya.” Wulan menggelengkan kepalanya. Sifat jail Helga ini sebenarnya menurun dari siapa? Mengingat ayahnya sosok yang kalem.

Helga mengalihkan pandangannya ke belakang, menatap punggung Ayana, terlihat gadis itu sedang fokus mencuci piring. “Ekspresi Aya kalau lagi marah lucu, Bun. Abang suka.”

Wulan kembali mengambil piring kotor bekas makan malam, kemudian membawanya ke wastafel. Membantu Ayana mencuci piring. Padahal dari dulu Wulan sudah mengingatkan Ayana untuk tidak mencuci piring di rumahnya. Namun, gadis keras kepala itu selalu menolaknya dan ingin membantunya.

“Kamu nggak ada rasa gitu ke Aya, Bang?” Pertanyaan Hermawan barusan sukses membuat Helga menatap bingung ke ayahnya.

“Ayah kenapa tiba-tiba tanya gitu?” Heran Helga, kembali duduk. Menatap ayahnya penuh tanda tanya.

Kalau diingat kembali, ini adalah pertama kalinya ayahnya menanyai soal hubungannya dengan Ayana, yang mana sudah jelas hanya sebatas sahabat. Tidak lebih dari itu.

“Ayah lihat hubungan kalian dari dulu masih tetap sama. Cuman sebatas sahabat doang, nggak ada niatan mau naikin level hubungan kalian?”

Helga masih bingung, ke arah mana pembicaraannya itu dengan ayahnya?

“Maksud Ayah?”

“Kalian kenapa nggak pacaran aja? Ayah setuju banget. Dari dulu Ayah sudah sayang sama Aya. Menurut Ayah, Aya cocok banget jadi pendamping kamu.”

Jangan ditanya bagaimana ekspresi Helga mendengar ucapan ayahnya barusan. Cowok itu sampai menganga tidak percaya bahwa ayahnya berharap lebih untuk hubungannya dengan Ayana.

Helga menggelengkan kepalanya. Menghapus pikiran yang bersemayam dikepalanya. Bayangan-bayangan tentang hidup menua bersama Ayana dulu memang pernah terlintas dibenaknya. Namun, Helga sudah berhasil menghapusnya. Tetapi sekarang kembali terlintas karena ucapan ayahnya.

“Ngaco banget, Abang dari dulu udah anggap Aya sebagai adik sendiri. Lagian Aya tuh cerewet, kalau tidur suka ngorok, belum lagi suka tabok. Bisa-bisa Abang kena KDRT terus kalau nikah sama Aya,”

Journal In LoveWhere stories live. Discover now