JIL04

120 37 51
                                    

Holla Sobat!

"Mau sebaik apapun kamu bersikap. Nyatanya kamu bisa menjadi peran jahat di kehidupan orang lain."

★★ HAPPY READING ★★

Malam telah berganti pagi. Mentari sudah menampakkan diri dari arah timur. Dinginnya udara pagi menyejukkan hati dan menjernihkan pikiran Ayana yang sedang melamun dibalkon kamarnya. Dengan nuansa warna putih tulang dan dua lemari berukuran besar, juga beberapa figura yang tertempel di dinding, kamar ini nyatanya lebih besar dari ukuran kamar Ayana di rumahnya.

Gadis manis itu sudah rapi dengan balutan seragam sekolahnya. Namun, masih enggan keluar dari kamarnya. Pikirannya sedang berkelana. Mengingat semua rentetan kejadian demi kejadian dimasa lalunya, saat keluarganya masih utuh.

Helaan napas panjang, tatapan mata yang teduh, membuat Ayana terlihat sedang sedih. Meratapi nasib kehidupannya.

"Papa dimana? Kenapa sampai sekarang nggak mau ketemu sama Ayana?" ucapnya lirih menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong.

"Maaf kalau kehadiran Ayana di kehidupan ini malah bikin kalian bercerai." Ayana menunduk. Memainkan jemarinya. Bahunya bergetar diiringi suara isakan lirih.

Terkadang saat termenung sendirian, Ayana berpikir meratapi takdirnya. Ayana tidak tahu bagaimana kehidupan sebelum ia dilahirkan. Yang ia tahu, semenjak kehadirannya di dunia ini, kedua orang tuanya sering bertengkar hebat.

Mungkin kah kelahirannya tidak pernah diharapkan oleh keluarganya?

Entahlah.

Mendengar suara pintu kamarnya dibuka, segera mungkin Ayana menghapus bercak air matanya. Ia menarik napas panjang agar lebih lega sebelum akhirnya mendongak untuk melihat siapa yang membuka pintu kamarnya tanpa mengetuk dahulu.

"Udah dibilang berulang kali kalau mau masuk kamar tuh ketuk pintunya dulu," omel Ayana saat mengetahui bahwa Helga yang telah masuk ke kamarnya.

Cowok itu berjalan santai mendekati Ayana. Padahal sebelum masuk ia sudah mengetuk berulang kali. Lantas tidak mendapati jawaban dari dalam, Helga memberanikan diri untuk masuk. Takut kalau ternyata Ayana masih terlelap tidur. Tetapi malah melihat Ayana sedang melamun.

Kedua tangan Helga mendarat di pipi gadis itu. Ditelisiknya seluruh wajah manis Ayana. Walaupun sudah menghapus air matanya, mata merahnya itu tidak bisa membohongi Helga.

"Nangis kenapa?" tanyanya sambil menatap tajam.

"Gue nggak apa-apa. Tadi kelilipan doang," bohongnya, menepis kedua tangan Helga. Setelah itu menjauh dari Helga.

Saat hendak mengambil tas sekolahnya, tangan kanan Ayana dicekal oleh Helga. Seberapa keras usaha Ayana untuk membohonginya, nyatanya tidak mudah untuk gadis itu berbohong pada Helga.

"Kita udah kenal dari kapan sih gue tanya? Udah dari zaman masih jadi embrio kita udah bareng. Luar dalamnya lo tuh gue udah hatam. Jadi, lo nggak bakalan bisa berbohong sama gue," tutur Helga serius.

Helga benar. Mereka berdua sudah mengenal sejak kecil. Sudah seperti anak kembar yang ke mana-mana harus selalu bareng. Kadang Ayana merasa kesal karena sifat pekanya, membuat dirinya susah untuk membohonginya.

"Gue cuman kangen papa. Hanya itu doang kok,"

Ayana tersenyum meyakinkan. Toh ia memang tidak berbohong. "Udah yuk sarapan. Nanti sebelum ke sekolah, mampir ke rumah gue dulu, ya. Belum jadwal pelajaran hari ini gue."

Helga masih terdiam di dalam sana. Ia membiarkan Ayana keluar dari kamarnya terlebih dahulu. Kakinya berjalan menuju sebuah meja belajar. Mengambil sebuah figura. Dalam foto itu, ada anak lelaki yang merangkul gadis kecil. Kedua anak kecil itu saling tersenyum menatap ke arah kamera. Sebuah foto kenangan saat mereka berdua berusia delapan tahun, di sebuah pantai saat berlibur.

Journal In LoveWhere stories live. Discover now