15. Advice

16.4K 1.6K 169
                                    

Pagi ini Ava menemui Brianna karena pelayan pribadi wanita itu menyampaikan pesan kalau majikannya ingin minum teh bersama di ruangannya. Jadi, Ava bersiap dan ke hadapan Brianna.

Wanita berambut merah terang itu tersenyum. "Hai, bagaimana kabarmu?"

Ava membalas senyuman Brianna dan mengangguk, "kabarku baik," jawabnya menutupi perihal yang terjadi semalam lagipula pipinya sudah lebih membaik dan soal lebam masih bisa ditutupi dengan bedak.

"Senang bisa melihatmu pagi ini, Ava." Brianna langsung mempersilahkan Ava untuk masuk, langkahnya sangat pelan namun tetap terlihat elegan.

"Aku menyiakan teh ini untuk kita nikmati berdua." Ucap Brianna lalu meminta pelayan meninggalkannya berdua saja dengan Ava.

Ava duduk di hadapan Brianna dan ikut meraih cangkir seperti yang perempuan itu lakukan. "Kau seharusnya tidak perlu repot-repot melakukan ini, seharusnya aku yang siapkan teh untuk kita." Ujar Ava basa-basi padahal nyatanya rebus air saja gosong karena lupa.

Brianna terkekeh, setelah meneguk tehnya sekali ia mulai berbicara serius pada Ava. "Semalam kau pergi ke pertemuan alun-alun bersama Zafar, apa yang terjadi? Dia melakukan hal buruk padamu?"

"Sama sekali tidak." Ava menggelengkan kepala, "dia sangat baik, dia adalah pria berhati lembut yang tahu cara menghadapi seorang gadis remaja sepertiku." ia berbohong.

"Benarkah?"

"Benar." Angguk Ava antusias, "kau mau kuceritakan apa saja yang kulakukan dengannya di pertemuan semalam?"

Briana terkekeh, "aku baru mau menanyakan itu."

"Seperti yang kubilang tadi, dia sangat baik. Dia mengambilkanku air, memintaku duduk saat aku sudah berdiri terlalu lama, dia juga memotongkan daging untukku." Singkat Ava menjawab dengan seluruh kebohongan yang timbul di kepalanya. "Dia melakukan semua itu untukku."

Mendengar semua penuturan itu, Brianna tersenyum. Namun bukan senyum bahagia, melainkan senyum kecewa yang tidak disadari oleh Ava.

"Begitu, ya?"

"Iya." Ava mengangguk sambil meniupi tehnya yang masih panas lalu memaksa dirinya sendiri meminumnya sampai habis walau hal itu membuat lidahnya jadi terasa agak terbakar.

"Pelan-pelan..." nasihat Brianna hanya diangguki oleh Ava.

"Sebenarnya aku masih ingin lebih lama berasa disini namun aku harus segera turun ke bawah dan membantu Ibu mertua di dapur." Ujar Ava berniat pamit karena sebelumnya ia tidak ke dapur sama sekali karena tertidur sampai siang.

"Aku mengerti kewajibanmu." Brianna mengangguk dan mempersilakan Ava meninggalkan kamarnya setelah meletakkan cangkir tehnya yang sudah kosong kembali ke meja.

"Aku bisa pergi?" tanya Ava seraya menunjuk dirinya sendiri.

Brianna mengangguk. "Ya, sampaikan salamku pada ibu dan ayah."

"Tentu." Gadis itu lalu beranjak dan tak lupa membungkuk hormat pada Brianna sesaat sebelum bergegas keluar dari sana.

Selepas kepergian Ava, Brianna menghela nafas kasar seraya meletakkan cangkir tehnya yang masih penuh karena baru ia sesap dua kali saja.

"Kau mendengarnya?" Brianna menarik nafas berat yang cukup panjang lalu menoleh ke arah balkon, bersamaan dengan itu tirai warna cokelat gelap disibak dari arah luar dan Zafar muncul dengan tampang datar seperti biasa.

"Kau memperlakukan seorang gadis yang bahkan tidak mau menjelekkanmu di hadapanku dengan buruk." Ucap Brianna tak habis pikir, pagi-pagi sekali ia mendengar pengakuan sang suami yang menampar istri keduanya di hadapan semua orang dengan kasar.

How To Survive From Sebastian Where stories live. Discover now