Bab 9. Kemenangan Dinar

1.2K 167 12
                                    

Beno sangat menyayangi adiknya dan selalu mendukungnya, akan tetapi dia kurang setuju dengan apa yang telah Dinar lakukan terhadap rumah tangga sahabatnya. Menurutnya, tindakan itu bisa menjadi bumerang bagi Dinar sendiri, karena itu bisa menjadi bukti-bukti dalam proses perceraian, dan nama Dinar yang akan tercoreng. Akhirnya Beno meminta Keenan untuk menjaga nama Dinar dengan memenuhi permintaan Winda untuk mengikuti proses perceraian yang dikehendaki Winda dengan tanpa menyinggung Dinar, dan Keenan pun menyetujuinya.

"Lain kali kalo bertindak mikir-mikir dulu. Jangan suka sembarangan bikin ulah," tegur Beno saat Dinar tengah bersantai di ruang keluarga. Dia sudah menjelaskan kepada Dinar bahwa tindakan Dinar itu bisa dipidana, apalagi sudah mencampuri ranah rumah tangga orang lain. Dinar dinilai Beno sangat ceroboh.

Bibir Dinar mengerucut saat diberi nasihat oleh kakaknya. Dia tidak membantah dan tidak pula membenarkan tindakan yang sudah dia lakukan, tapi dia tidak menyesal karena tujuannya telah tercapai, yakin Keenan dan Winda akan bercerai.

"Jangan ganggu mas Keenan dulu."

"Berapa lama, Mas?" Dinar bertanya dengan gaya manjanya.

"Ya, tunggu saja. Lebih baik tunggu sampai dia yang memulai hubungi kamu."

Dinar menggigit bibirnya, menunggu adalah pekerjaan yang amat membosankan. Tapi apa boleh buat, dia harus menuruti saran kakaknya, dan dia menyadari bahwa Keenan pasti butuh waktu untuk menenangkan diri. Dinar berharap tidak akan selama yang dia bayangkan, dan Keenan bisa segera menghubunginya.

***

Malamnya, Dinar yang mulai bosan, menghubungi Rara, ingin berbagi cerita tentang kejadian di rumahnya pagi ini, bahwa Winda mendatangi rumahnya dengan menyamar sebagai petugas asuransi, dan apa yang dia harapkan terjadi, Winda ingin bercerai dari Keenan.

"Gila itu orang ya? Berani banget menyamar memakai identitas orang lain. Mentang-mentang banyak duit jadi bisa seenaknya."

"Nggak masalah, Ra. Yang penting kan misiku berhasil."

"Dasar. Kamu juga nggak ada takut-takutnya. Bisa-bisa malah kamu lo yang dituntut."

"Nggak bakalan, Mas Beno kan intel, mungkin dia yang duluan nyaho."

Terdengar tawa renyah Rara. "Jadi apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?" tanyanya kemudian.

"Menunggu."

"Menunggu?"

"Ya, menunggu waktu yang tepat. Kakak kamu kan pasti masih sedihlah sekarang, jadi aku ingin dia tenang dulu."

"Hm ... hebat banget kamu, Din. Sabar dan bijak."

"Iya, dong. Musti sabar dapetin kakakmu. Berkali-kali aku kasih kode dan dia nggak ngerti-ngerti juga. Kamu dong yakinin dia sama aku."

"Hah? Aku kamu suruh yakinin dia? Mama dan papaku saja lewat, apalagi aku? Sekarang itu justru kamu yang harusnya yakinin dia."

Dinar berdecak sebal, "Bantuin dong, masa bantu doa doang."

"Emangnya dengan aku memihak kamu dianggap nggak bantu kamu? Kamu tau sendiri mas Keenan bagaimana sulitnya dikasih saran, dan dia mau dengerin kamu, 'kan? Kamu yang lebih dia dengar daripada aku."

"Iya sih. Tapi aku tuh takut, Ra. Kalo aku nuntut lebih, ntar dia berubah lagi."

"Dinar, Dinar. Selalu itu yang kamu keluhkan, belum juga mencoba. Menurutku sekarang kamu nggak usah takut lagi. Nggak lama lagi juga dia jadi duda dan kamu bisa bebas deketin dia."

Dinar menatap langit-langit kamar memikirkan kata-kata Rara bahwa dirinya tidak perlu takut memulai untuk menyatakan perasaan yang sebenarnya kepada Keenan. "Ya, memang sudah saatnya aku jujur sama mas Keenan."

Pilihan SulitWhere stories live. Discover now