Bab 10. Lega Winda

997 153 3
                                    


Sudah tiga malam Winda menginap di rumah orang tuanya, dan emosinya sudah mulai membaik dan stabil sejak mendapatkan tanda tangan Keenan. Meskipun dirinya belum resmi bercerai, Winda sudah mulai bekerja di kantor sebagai COO. Namun, Winda tidak bekerja di kantor papanya seperti yang tertera di dalam perjanjian, melainkan di kantor sepupunya di kawasan bisnis Sudirman. Winda beralasan bahwa lokasi kantor papanya sangat jauh, dan dia memilih bekerja di kantor Damian agar bisa sering bertemu Sandra, sahabat dekatnya, yang kebetulan pula bekerja di gedung yang sama dengannya, hanya beda perusahaan.

Belum menyandang status janda secara resmi Winda pun mulai rajin memperhatikan diri sendiri, dia kembali aktif melakukan olahraga yoga setelah sekian lama vakum, sehingga dalam tiga hari ini tubuhnya dengan mudah dia berkeringat. Tapi Winda benar-benar merasa lebih segar, ditambah lagi pikirannya yang lebih leluasa.

Pagi ini sebelum berangkat kerja, Winda duduk bersila di balkon kamarnya.

"Oh, lagi yoga toh."

Winda kontan menoleh ke belakang.

"Kak Cindy?"

Cindy adalah kakak pertama Winda yang sudah menikah dan memiliki seorang anak perempuan, Gisella namanya. Meskipun sudah memiliki rumah sendiri, dia dan suaminya tinggal bersama kedua orang tuanya, karena Irman yang memintanya. Dibanding Winda, Cindy jauh lebih penurut. Sama seperti Winda, dia juga dijodohkan dengan seorang pejabat tinggi pemerintahan di bidang keuangan yang kini menjadi suaminya.

Cindy melihat Winda yang keringatan dengan tatapan tidak senangnya, dan Winda mengetahui apa yang sedang dipikirkan Cindy. Sama seperti papanya, Cindy menyayangi Keenan sebagai adik ipar yang baik dan pekerja keras. Dia pun sangat menyayangkan keputusan Winda bercerai dari laki-laki jujur seperti Keenan. Menurutnya Winda seharusnya bisa menahan diri dan berpikir ulang tentang perceraiannya. Sangat susah mendapatkan sosok laki-laki yang sempurnan seperti Keenan, tampan, cerdas, jujur, dan bekerja keras.

"Kamu dipanggil papa ke ruang kerja," ujar Cindy dengan tatapan matanya yang tertuju ke tubuh tinggi semampai Winda dari atas hingga ujung kaki.

Winda meraih handuk kecil dan menyeka keringatnya, "Aku sebentar lagi mau siap-siap kerja, Kak." Winda tahu pasti papanya menanyakan seputar perceraiannya yang sebenarnya tidak ingin dia bahas lagi. Urusan sidang sudah dia serahkan ke pengacara.

"Papa bilang kamu boleh telat masuk kantor hari ini—"

"Aku ada rapat—"

"Papa sudah menghubungi Damian, dan Damian mengizinkan kamu untuk datang terlambat. Ada yang ingin papa bicarakan."

Winda menghela napas berat, "Baiklah. Aku segera turun."

Cindy menatap wajah Winda sesaat. Adiknya ini memang jarang sekali curhat mengenai keadaan rumah tangganya kepada dirinya. Cindy sudah mendengar desah desus perempuan yang bernama Dinar yang sangat dekat dengan Keenan, tapi dia juga tahu bahwa keduanya sudah dekat sedari dulu dan orang-orang mengatakan bahwa hubungan keduanya tidak lebih dari kakak adik, dan Cindy mempercayai cerita itu.

Mendapat jawaban dari Winda, Cindy berbalik ke arah pintu dan melangkah ke luar.

Winda memukul handuk kecilnya di atas sandaran kursi kecil dan membiarkan handuknya tergeletak di sana. Dia jengah karena tidak ada yang mendukung keputusannya untuk bercerai. Semua keluarga besarnya tidak menyetujui dirinya berpisah dari Keenan. Ingin sekali dia ungkapkan gambar-gambar mesra Keenan dan Dinar kepada papanya agar papanya mengerti kenapa dia sampai mengambil keputusan yang paling berat. Tapi, Keenan menyuruhnya untuk tidak sampai menyebarkan foto-foto itu karena masih memikirkan nasib Dinar, dia tidak ingin Dinar menjadi orang yang terus-terusan disalahkan dalam keretakan rumah tangga mereka. Jika Winda tidak ingin diajak bekerja sama, dia bisa saja naik banding dan tidak bersedia memuluskan proses perceraian.

Winda sudah siap dengan pakaian rumahnya dan terburu-buru ke luar kamar dan turun ke bawah menuju ruang kerja papanya.

Begitu masuk di dalam ruang kerja papanya, Winda langsung duduk di depan meja kerja papanya, saat itu papanya sedang menerima telepon dari seseorang.

Irman melirik ke Winda sebentar sambil mengangkat tangannya memberi kode untuk menunggu sebentar, dan Winda pun mengangguk.

Sebagai pemilik banyak perusahaan yang bergerak di bidang keuangan dan properti, Irman tidak perlu masuk kantor dan bisa bekerja di mana, bahkan dari rumahnya. Kantor pusat berada di Singapura dan kakaknya yang bernama Hanz yang mengelolanya, dan Irman sendiri lebih suka tinggal di Jakarta sekaligus mengawasi pekerjaan anak kakaknya, Damian.

"Papa sudah menanyakan Keenan pagi ini tentang keinginan kamu bercerai, dan papa sudah menyuruh pengacara untuk mengurusnya."

Winda tersenyum dalam hati mendengar kata-kata papanya. Padahal sebelumnya justru papanya yang menentang keinginannya bercerai. Namun, sekarang malah mempermudah proses perceraiannya .

"Yang kamu lakukan adalah mengikuti proses perceraian, semoga tidak memakan waktu yang lama, dan kamu bisa mendapatkan akta cerai, agar status kamu jelas."

"Terima kasih, Pa."

"Ya."

Irman menghela napas berat, lalu bertanya dengan nada berat, "Apa ... kamu ingin papa melakukan sesuatu terhadap gadis itu?"

Winda terperanjat, papanya menyinggung Dinar? Padahal dia dan Keenan sepakat untuk tidak menyinggung Dinar atau melibatkannya dalam proses perceraian mereka. Apa Keenan sendiri yang menceritakannya bahwa Winda yang sangat marah dengan Dinar? Apa papanya sendiri yang mencari tahu melalui informan dan detektif sewaan, lalu papanya juga melihat foto-foto mesra Keenan dan Dinar?

"Nggak perlu, Pa. Bagiku yang terpenting aku bercerai dan statusku jelas. Aku sudah nggak peduli dengan Keenan. Itu saja."

Irman menatap wajah putri bungsunya lewat kaca matanya, dan Winda terlihat gelisah ditatap seperti itu. Irman memiliki insting yang cukup kuat saat mengamati seseorang dengan serius, apalagi dirinya yang merupakan anak kandung. Pasti dengan mudahnya Irman mengerti isi hati dan pikirannya.

"Kamu masih punya perasaan kepadanya."

Winda menggeleng, "Pa, sudahlah. Aku nggak mau menyiksa diri.

Irman terkekeh pelan.

"Aku tahu Papa membutuhkan Keenan, tapi aku juga ingin hatiku tenang, tanpa harus terbebani dengan masalah-masalah itu-itu saja." Winda berusaha keras menghilangkan momen awal-awal menikah yang sangat indah dengan Keenan, juga bulan madu di kota Florence, Italia. Begitu keras dan kejam Keenan menyerangnya di atas ranjang, tak peduli teriakan sakit Winda, semakin Winda merintih sakit semakin buas tindakan Keenan. Tapi Winda malah menyukai sisi gelap Keenan, dan dia dengan mudah pula mencapai kepuasan di setiap aksi Keenan.

Winda dengan cepat menahan gairahnya saat mengingat semua momen itu.

"Papa barusan menghubungi Damian, dia bilang jika kamu tidak menyukai bekerja di bidang operasional perusahaan kamu bisa memilih di bidang lain, komisi keuangan?"

Winda mengerutkan dahinya, "Damian mempermasalahkan aku?"

"Tidak. Dia hanya mempertimbangkan kondisi kamu sekarang ... khawatir kamu malah tidak fokus."

"Oh."

"Bagaimana?"

"Aku tetap bekerja di bagian itu saja, aku sudah tiga hari mempelajarinya dan yakin bisa."

"Good. Papa akan sampaikan ke Damian."

Bersambung 

Pilihan SulitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang