Bab 17. Kenalan Baru Rara

753 112 2
                                    

"Dinaaar!"

Tidak Erina saja yang senang dengan kedatangan Dinar, tapi juga Rara, yang terpekik senang melihat Dinar mengunjungi rumah orangtuanya.

"Raraaa!" Dinar balas memanggil Rara. Lalu keduanya berpelukan bak sudah lama sekali tidak berjumpa, padahal hampir setiap hari saling membalas pesan.

Rara lalu mengajak Dinar ke ruang keluarga, duduk di atas sofa. Dia tampak sedang bahagia, dan Dinar senang sekali melihat wajah ceria Rara.

"Senang banget sih, ada apa nih?" tanya Dinar akhirnya. Meskipun dia tahu Rara adalah gadis yang ceria, tapi keceriaannya hari ini mengundang tanya.

"Hm ... aku punya kenalan baru."

"Aih, akhirnya!"

Usia Rara lebih tua tiga tahun dari Dinar dan dia pernah berpacaran, namun putus karena lelah berhubungan jarak jauh. Alex, mantan pacar Rara yang berada di Tokyo sudah menikah dengan wanita berkebangsaan Jepang, setelah hampir dua bulan putus dari Rara setahun yang lalu. Rara kini tampaknya sudah mulai membuka hati.

"Ih, siapa laki-laki yang beruntung itu, apa boleh aku tahu?"

"Boleh dong."

Rara lalu membuka ponselnya dan menunjukkan sebuah foto laki-laki tampan dan tubuh tinggi sedang menyetir mobil mewah. Mata Dinar terbelalak lebar, tanpa sadar mulutnya memuji wajah tampan laki-laki itu.

"Rara. Gantengnyaaa. Ini lebih ganteng daripada Alex!"

"Hush. Nggak boleh gitu ah." Rara menyembunyikan wajah malu-malunya.

"Siapa namanya? Kerja atau kuliah? Sepertinya lebih muda dari Mas Keenan," cecar Dinar ingin tahu.

Rara menyenggol bahu Dinar, dan tertawa renyah. "Dia pindah dari Singapore ke Jakarta."

"Oh, orang Singapore?"

"Nggak, dia lahir dan besar di Jakarta. Hm ... tapi kuliah di Singapore dan bekerja beberapa tahun di sana, lalu mendapat kesempatan bekerja di sini, hm ... di Biantara Group."

"Oh."

"Namanya Krisna."

Dinar manggut-manggut, "Wow, Kinara dan Krisna ... sepertinya kalian jodoh!" ujar Dinar menyebut nama asli Rara, yakni Kinara, yang tentu serasi jika disandingkan dengan nama Krisna, karena inisial depan yang sama. Rara tampak semakin berbunga-bunga mendengar kata-kata Dinar yang mendukungnya.

"Semoga. Hm ... aku baru saja kenalan, dan langsung jatuh hati."

"Di mana? Lewat aplikasi?"

Rara menggeleng, dia memang pernah mencoba menggunakan aplikasi kencan, ingin mencari pasangan, tapi selalu gagal dan dipenuhi kebohongan-kebohongan. "Aku bertemu Krisna di kantor Biantara. Hm, Mas Keenan menugaskanku datang ke sana, dan aku tanpa sengaja bertemu dengan Krisna di lobi kantor perusahaan, dan kita kenalan."

"Wah, pasti perkenalan yang sangat menyenangkan."

"Sangat berkesan. Dia sopan sekali, Dinar. Aku tidak pernah bertemu laki-laki yang penuh perhatian seperti Krisna, dan aku langsung merasa nyaman berdekatan dengannya."

"Oh ya?"

"Ya, dia bahkan mau mengantarku ke lantai atas, membawakan tas dokumenku."

Dinar tersenyum kecil penuh kemenangan. Awalnya dia menyangka bahwa Krisna yang disebut Rara adalah laki-laki perlente, CEO perusahaan besar seperti Keenan misalnya. Ternyata hanya laki-laki tampan biasa, begitu gumamnya dalam hati, tapi tentu saja dia tidak mengungkapkan penilaiannya, karena tidak ingin menyinggung perasaan Rara yang sedang berbunga-bunga.

"Dia pekerja keras dan aku tahu itu," gumam Rara dengan wajah berbinar. "Doakan aku, Dinar. Semoga dia belum memiliki kekasih."

Dinar mengangguk tipis, tapi dia mengernyitkan dahinya merasa terlalu cepat bagi Rara untuk langsung menerima cinta dari seseorang yang baru dikenal. "Apa kamu nggak khawatir... kamu 'kan baru saja mengenalnya."

"Ya, kamu benar, Dinar. Aku telah memikirkan hal itu. Aku pikir dengan melanjutkan komunikasi dengannya terus-terusan, aku dan dia mungkin saja akan menemukan titik temu."

Dinar mengangguk mengerti.

"Walaupun dia belum menunjukkan sikap suka kepadaku, nggak salah kita sebagai perempuan yang lebih dulu menunjukkan rasa suka itu."

Dinar tersenyum hangat, membenarkan ucapan Rara. Rara memandang wajah Dinar dan dia tahu apa yang sedang dipikirkan Dinar.

"Mungkin sekarang saatnya kamu yang memulai," ujar Rara pelan. Dia mengetahui bahwa selama ini Dinar selalu menyimpan perasaan khusus kepada kakaknya, dan selama itu pula Dinar tidak memiliki keberanian mengungkapkannya, khawatir sikap Keenan yang mungkin berubah, karena Keenan memang tidak pernah menunjukkan keseriusan menjalin hubungan dengan perempuan waktu itu. Namun, tiba-tiba saja dia menikah dengan Winda, dan tentu membuat Dinar terluka.

"Aku yakin kali ini kamu nggak akan kecewa lagi, Dinar," ujar Rara penuh keyakinan.

"Mas Keenan mana ya?" tanya Dinar, dia tidak melihat Keenan, padahal sebelumnya Keenan yang mengajaknya ke rumah orang tuanya tempo hari.

"Tadi di dapur, hm ... aku periksa dia di kamar atas dulu ya?" ujar Rara, dan langsung bangkit dari duduknya, melangkah cepat menuju tangga ke lantai atas. Keenan sudah beberapa malam menginap di kamar kosong yang sangat jarang digunakan di rumah orangtuanya.

"Aku ikut, Ra."

"Oh." Rara tidak kuasa menahan langkah Dinar yang terlalu cepat mendekatinya. Dia membiarkan Dinar mengikutinya menuju kamar Keenan.

Kini keduanya sudah berdiri di depan pintu kamar Keenan, dan Rara mengetuknya.

"Mungkin sedang istirahat," gumam Rara, karena pintu kamar tidak kunjung dibuka, padahal dia sudah mengetuk kesekian kali.

Dinar menghela napas kecewa. Namun, baru saja keduanya hendak berbalik, pintu dibuka dari dalam kamar. Keenan tampak baru saja bangun dari tidurnya, memandang wajah dua gadis itu ogah-olahan.

"Maaf ganggu, Mas," ucap Rara sambil melirik ke arah Dinar, yang juga terlihat merasa bersalah karena mengganggu waktu tidur Keenan.

Keenan mengangguk kecil, lalu menutupi pintu kamarnya setelah dia melangkah ke luar. "Apa kabar, Din?" sapanya sambil mengacak rambut Dinar, dia tersenyum lemah, karena kantuk yang masih menderanya.

"Baik, Mas. Mas bagaimana kabarnya?" Dinar balik bertanya dengan sikap sopannya.

"Ya, baik."

Rara yang memahami Dinar yang ingin melepas kerinduannya bersama kakaknya, perlahan mundur dan menjauh dari keduanya.

"Ra! Bilang Mama Mas sebentar lagi pulang ke rumah Mas," ujar Keenan tiba-tiba.

Langkah Rara terhenti sebentar, menoleh dan mengangguk.

"Dinar boleh ikut Mas?" tanya Dinar yang sedikit merasa kecewa akan sikap Keenan yang tidak menunjukkan kerinduan, bahkan terlihat acuh tak acuh.

"Hm?" Keenan berpikir sejenak, menatap wajah Dinar penuh harap. Lalu mengangguk pelan sambil berkata "ya".

***

Keenan tampaknya tidak ingin berdua saja dengan Dinar saat pulang menuju rumahnya, dia pun mengajak Rara ikut bersamanya. Awalnya Rara menolak, tapi melihat Dinar yang seperti menahan kekecewaan, dia pun memutuskan untuk ikut. Akhirnya dia mengerti kenapa Dinar tidak memiliki keberanian mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya kepada Keenan, karena Keenan yang selalu menunjukan sikap denialnya.

Sepanjang perjalanan menuju rumah Keenan, Dinar dan Rara tidak banyak bicara, dan Rara memahami bahwa Dinar yang tampaknya sedang berpikir keras bagaimana bisa merebut hati Keenan.

Bersambung 

Pilihan SulitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang