Bab 12. Keinginan Dinar

866 123 6
                                    


Beno tersenyum tipis saat membaca pesan dari Keenan, sudah dia tebak sebelumnya bahwa sahabatnya itu sedang sangat sibuk akhir-akhir ini sehingga dia tidak bisa membalas pesan atau menghubunginya kembali. Di pesan itu, Keenan ingin bertemu dengannya, dengan mengajak Beno pergi ke sebuah klub malam mahal di area Jakarta Selatan, sekaligus memberinya oleh-oleh dari perjalanan bisnisnya di Eropa selama lebih kurang satu minggu. Beno tidak yakin Keenan sedang baik-baik saja sekarang, sejak menghadapi masalah rumah tangganya yang ditambang kehancuran, Keenan sangat jarang menghubunginya, padahal biasanya sesibuk apapun, Keenan pasti akan menyempatkan diri menghubunginya, mengajaknya nongkrong di cafe mahal, atau bermain golf bersama.

"Tuh, apa kata Mas, Mas Keenan sedang sibuk dan nggak ada waktu senang-senang."

Dinar cemberut, dia belum mendapatkan balasan dari Keenan.

"Kamu nggak sabaran sih."

"Tapi biasanya kan mas Keenan itu pasti bales pesanku, Mas. Kalo aku hubungi dia terus dia nggak angkat, pasti nggak lama dia langsung nelepon aku."

"Ya, kamu harus ngerti keadaan dia sekarang dong, sibuk dan rumah tangganya yang berantakan ... gara-gara kamu juga. Dia pasti sedihlah."

Dinar menghempas napas jengkel, dan Beno gemas melihat wajah cemberut adiknya yang manja itu. Dia mencubit pipi Dinar, dan Dinar menggeleng sambil melirik malas ke arah kakaknya.

"Yang penting kan Mas Keenan sudah kasih kabar dan dia nggak kenapa-kenapa. Nggak lama lagi dia juga hubungi kamu."

Dinar masih menunjukkan wajah kesalnya.

"Kalo kamu emang sayang Mas Keenan, kamu tunjukkin sisi sayang kamu dong. Ngertiin dia, bahwa kondisi dia yang sedang sibuk-sibuknya. Kamu kira dia sudah bebas sekarang? Belum juga resmi cerai."

"Ya jelas bebas, Mas. Apalagi Mas Keenan sudah tandatangan, sebentar lagi juga cerai."

Beno tertawa menggeleng. Adiknya memang keras kepala dan susah dinasihati, mungkin karena selalu dimanjakan sejak kecil dan keinginannya selalu dituruti. Kehilangan sosok ayah pasti membuat Dinar sangat bergantung kepada dirinya dan Keenan.

"Mas Keenan itu businessman, pernikahan dia juga karena bisnis, perceraiannya juga akan berimbas ke urusan bisnis, dan urusannya itu nggak bisa selesai dalam waktu cepat, dan bisa bertahun-tahun."

Dinar terdiam setelah menghela napas pendek, mengenang kesehariannya dengan Keenan dulu, lalu dia tersenyum kecut karena begitu banyak yang berubah. Jika dulu dia bisa seenaknya memeluk dan mencium Keenan dan bermanja-manja dengannya, setelah Keenan menikah, Dinar merasakan jarak yang sangat jauh dari Keenan. Meskipun dia masih bisa berhubungan dengan Keenan dan masih bisa bermanja-manja di waktu-waktu tertentu saat bertemu Keenan, tapi waktu bersama Keenan jauh berkurang, dan Keenan terkadang menolak keinginannnya.

"Apalagi dia masih kerja di perusahaannya papa Winda. Kamu nggak bisa bertindak bebas seperti biasa, bisa-bisa kamu yang dipermasalahkan. Kamu bisa jadi target loh, ganggu stabilitas bisnis orang. Masih untung papa Winda nggak masalahkan kamu, kalo iya?"

"Bisa nggak sih Mas Keenan pindah kerja?"

"Kamu suruh dia, mau nggak? Atau semisal dia pindah, uang yang diperoleh juga nggak sebesar biasa. Bisa-bisa kamu nggak bakalan dapat hadiah-hadiah mahal dari dia."

"Jadi?"

"Jangan ganggu Mas Keenan kalo dia nggak memulai."

"Mas Beno."

"Hm, apalagi?"

"Aku tuh bingung dengan Mas Keenan. Dia kan sayang aku, bahkan sebelum bertemu Winda. Tapi kenapa dia malah memilih menikah dengan Winda?"

Beno terkekeh.

"Mas Keenan matrekah? Mentang-mentang Winda kaya begitu?"

"Ya...." Beno berpikir sejenak, bingung menjelaskan bagaimana tentang sisi kehidupan Keenan yang memang sejak terlibat dalam perusahaan Irman, dia tidak bisa "bebas". "Mas nggak tau soal itu."

"Mas Keenan itu nggak cinta Winda, tapi dia mau menikah dengan Winda."

"Bagaimana kamu tau kalo Mas Keenan nggak cinta Winda?"

"Dia ... bukannya sering curhat soal Winda ke Mas Beno?"

"Nggak juga. Sesekali dan itu soal yang sama, Winda yang lebih kurang dari kamu, keras kepala dan susah kalo dibilangin."

Dinar tersenyum sinis, "Ih, aku nggak sama dengan Winda, dia mandul."

"Hush! Nggak baik ngomong kegitu, Dinar."

"Ya kan memang begitu kenyataannya."

"Kalo soal anak, Mas Keenan nggak pernah mengeluh."

"Iya, memang bener begitu. Tapi mamanya Mas Keenan 'kan udah nyinggung soal anak."

Beno melihat layar ponselnya, dia menerima pesan dari Keenan yang memberi tahu posisi duduk yang sudah dia pesan di klub malam malam ini. Sepertinya Keenan sedang membutuhkannya.

"Aku yang seharusnya Mas Keenan nikahi."

"Dinar. Sudah, kamu nggak bisa maksa keadaan."

Beno sedikit agak kaget mendengar kata-kata yang ke luar dari mulut Dinar dan ini baru pertama kalinya dia mendengarnya, dan dia pun jadi merasa sedikit iba dengan gadis itu, yang sedari dulu sudah jatuh cinta kepada Keenan.

"Kenapa dia sayang sama aku, tapi nikahnya dengan Winda. Mas Keenan jahat ya, Mas."

Beno mendekati Dinar dan mendekapnya.

"Apa karena bisnis semata? Kok bisa Mas Keenan hidup tanpa cinta, menikah tanpa cinta. Aku bisa merasakan hidup Mas Keenan kering setelah menikah."

"Ya, kita juga nggak tau alasan Mas Keenan seperti itu."

"Mas 'kan deket sama Mas Keenan, kok nggak tau tentang rumah tangga Mas Keenan, aku saja tau sedikit karena Mas Keenan kadang curhat soal Winda."

"Ya, Mas nggak mau ikut campur rumah tangga mas Keenan, Dinar. Kalo pun ada masalah, paling ya seputar Winda. Itu juga dia nggak cerita detail."

"Iya sih, Winda yang cemburuan."

Beno tertawa kecil, "Ya wajar cemburu, dia kan istri Mas Keenan. Lagian kamu juga menyukai Mas Keenan."

"Sekarang sudah mantan istri, Mas."

"Belum, Dinar."

Dinar menghela napas panjang. Tampaknya dia sudah tidak bisa menahan diri lagi untuk bisa berhubungan lebih dengan Keenan dalam waktu lebih cepat, "Mas Beno apa nggak bisa bicarakan tentang aku ke Mas Keenan?"

"Dinar."

"Mas kan tau aku suka Mas Keenan dan ... mencintainya."

Beno mengetahui bahwa adiknya sangat menyukai dan mencintai Keenan sedari dulu, tapi baru sekarang ini Dinar dengan jelas mengungkapkannya dan dia cukup terkejut.

"Bisa saja, Dinar. Tapi waktunya bukan sekarang."

Beno seolah baru menyadari bahwa keinginan Dinar yang begitu kuat ingin hidup bersama sahabatnya. Namun, dia juga baru terpikir kenapa Keenan memilih menikahi Winda dan bukan memilih Dinar yang jelas-jelas sudah menunjukkan rasa sayangnya. Keenan pun tampak sulit melepas Dinar, meskipun sudah menikah. Apa karena Winda merupakan putri atasannya? Beno tidak berani menebak.

Bersambung

Pilihan SulitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang