03

424 93 49
                                    

Lima tahun menemukan Juna secara fana sebagai bayang-bayang yang hadir di mana-mana, pada pukul lima pagi ini, akhirnya, Aca menemukan Juna secara nyata sebagai seseorang yang menunggunya di lobi bandara.

Juna duduk di sebuah kursi, membungkuk, menatap layar ponsel sebelum menatap mata Aca.

Di dalam saling menghampiri, ketimbang Aca, langkah Juna jauh lebih gegas. Ketika Aca melangkah tiga ayunan kaki, Juna melangkah sepuluh, nyaris seperti berlari.

"Sini dibawain."

Koper Aca beralih tangan pada Juna. Aca tak menolak, tetapi juga tak membiarkan Juna membawa itu sendirian. Aca tetap menaruh tangannya di pegangan koper, di sebelah tangan Juna, menderek benda itu sama-sama usai sesaat saling bertukar pandang juga bertukar senyuman.

Sepanjang duduk di mobil Juna, Aca menyadari bahwa Bandung banyak berubah, tetapi Juna masih sama seperti dulu.

Juna masihlah definisi manusia tenang, tak banyak bicara, tak ribut, dan tak kusut. Senyumnya masih manis, wajahnya masih sedap dipandang. Bahkan, Aca rasa, kadar ketampanan Juna bertambah seiring bertambahnya usia.

Benar. Juna bukan lagi dewasa muda, tapi dewasa matang.

Pertanyaannya, selain usia dan ketampanannya, hal-hal apa lagi dari Juna yang mungkin berubah?

Aca penasaran.

"Mau bikin rumah, Ca?"

"Iya. Makanya ngehubungin kamu."

"Udah mau nikah emang?"

"Belum, sih."

"Kenapa buru-buru bikin rumah?"

Oh, Aca tahu, Juna memang masih tak banyak bicara, tapi setidaknya, bicara Juna tidak sesedikit dulu. Juna mulai terlihat seperti ibu-ibu komplek yang kepo urusan tetangga.

Aca memang diem setelah ditanya, tapi dalam batinnya menyeru senang melihat perubahan kecil Juna.

"Kan aku nggak punya rumah."

Menoleh, Juna di posisi kemudi, menaikan satu alis. "Rumah yang dulu?"

"Bukan rumah aku."

"Rumah orang tua 'kan?"

Aca senyum. Juna tertawa pelan.

"Masih banyak kali, Ca, orang seusia kamu yang masih tinggal bareng orang tua. Apalagi kamu cewek, masih tanggung jawab orang tua kamu selagi kamu belum nikah. Kalo menurut aku, kamu nggak perlu bikin rumah. Toh, nantinya kamu bakal tinggal di rumah suami kamu kalo udah nikah. Buat apa repot-repot bikin, kalo ujung-ujungnya ditinggalin?"

Aca juga kemudian tahu, Juna memang masih definisi manusia tenang, tapi tidak setenang dulu. Juna tidak ribut, tapi cukup berisik.

Senyum (lagi), Aca memandang Juna di sebelahnya. "Buat jadi tempat pelarian kalo sewaktu-waktu aku bertengkar sama suami aku."

Dibalas Juna dengan tatap sekilas. Juna sedang fokus membawa mobil melipir ke kanan untuk menyebrang. Belokan menuju rumah Aca, ternyata masih Juna hapal.

"Makasih banyak, Jun."

Juna mengangguk, mendorong koper Aca kepada sang pemilik kala mereka telah sampai di depan gerbang rumah Aca.

"Istirahat dulu aja. Capek 'kan abis perjalanan jauh? Bahas desain rumahnya nanti kalo udah lebih fit. Syukur-syukur, kamu mau pertimbangin lagi jadi-enggaknya bikin rumah."

Lagi, Aca senyum, mengangguk.

"Mau mampir, nggak?"

Tawaran ini bukan yang satu-dua kali Aca berikan pada Juna. Dulu-dulu sering. Dulu-dulu Juna tidak pernah mau.

Alasannya, Juna dulu masih mahasiswa, malu bertemu dengan orang tua Aca karena ia masih belum jadi siapa-siapa dan belum apa-apa.

"Nanti kalo mau ngelamar kamu," kata Juna, dulu.

Tapi, sekarang ini ....

"Numpang sholat subuh boleh? Tadi nggak sempet karena buru-buru jemput kamu."

Berkedok numpang ibadah, Juna untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di rumah Aca, menyalami dua penghuni di dalam sana yang Juna pikir adalah orang tua Aca, tapi bukan.

Aca kenalkan mereka sebagai paman dan bibinya.

Juna nampak kaget mendengar cerita bahwa Aca ditampung mereka setelah kedua orang tuanya tewas dalam sebuah kecelakaan pesawat sedari Aca kecil.

Sementara Si Pencerita, sudah tidak kaget melihat reaksi Juna, karena selama dekat lalu pacaran, cerita ini tidak pernah ia perdengarkan pada Juna.

Juna sendiri juga tidak pernah bertanya lebih dalam. Juna tahunya Aca adalah anak didikan ayah single parent, itu juga karena Aca pernah secara tidak sengaja mengatakan kalau Ibunya sudah tiada.

Tidak ada cerita secara komprehensif dan kronologis. Juna tidak bertanya bukan karena dia tidak ingin tahu, tapi karena ia tidak mau Aca terbebani.

Mungkin ini, alasan kenapa Aca kerap Juna temukan sarapan di kantin sewaktu jadi mahasiswa. Katanya, "Enggak ada yang masakin."

Paman dan bibinya adalah staf maskapai yang lebih sering menghabiskan waktu di pesawat ketimbang di rumah sama seperti ayah dan ibunya dulu.

Mungkin ini alasan kenapa Joni menyebut ada banyak hal merepotkan yang Aca tangani sendiri tanpanya dan tanpa Joni.

Suatu ketika setelah Aca selesai menyuguhkan cerita di samping teh hangat dan roti bakar lapis selai cokelat, Juna yang pamit untuk pulang kemudian di antarnya ke depan gerbang.

"Aku emang nggak bisa jadi rumah buat kamu, Ca. Tapi kalo buatin kamu rumah, aku bisa."

Juna, berdiri dalam posisi menyandar pada body mobilnya.

Kepada Aca yang hampir ditelan pintu gerbang rumahnya dan yang sekarang menolehkan pandang ke arahnya, Juna bicara lagi,

"Mau dibuatin rumah yang kayak gimana, Ca?"

Aca tersenyum, cantik, meski wajahnya bergurat penat.

"Kayak gimana pun, asal kamu yang buatin." 

[]

SEANDAINYA KITA MEMULAI KEMBALI [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang