06

338 82 65
                                    

Bukan lagi ruang praktik jurusan arsitektur. Kini, Aca temani Juna di ruang kerjanya.

Juna sudah bukan lagi mahasiswa, tapi betulan seorang arsitek, dan baru-baru ini Aca tahu kalau Juna juga merangkap pengusaha.

"Ini desain rumah siapa?" Aca tengah mengamati maket-maket di ruang kerja Juna.

Sedangkan, Juna tengah mengamati layar komputernya, sambil sesekali mengamati Aca.

"Kenapa emang?"

Bukan jawaban yang Juna beri pada Aca yang barusan bertanya sambil menunjuk salah satu maket rumah minimalis satu lantai dengan taman di samping kanan dan kebun di bagian belakang, yang menurut Juna biasa saja, tapi menurut Aca ....

"Bagus."

Juna tersenyum. "Karena yang ngedesain aku?"

Aca tidak berubah. Masih suka memuji dan mengapresiasi karya Juna, kendati tidak ada yang luar biasa dari itu. Bahkan maket yang disemprot habis-habisan oleh dosennya dulu pernah dipuji habis-habisan oleh Aca.

Juna maklum. Sebab Arsitektur bukan bidang seorang Aca. Paham apa Aca soal rancangan bangunan? Aca hanya paham rancangan busana.

Dan, Juna juga tidak berubah. Masih suka tersenyum tiap kali mendengar pujian Aca. Bagi Juna, itu seperti pil kecil yang mengakibatkan Juna merasakan efek bahagia, bersemangat, percaya diri, berani, juga banyak efek-efek serba menyenangkan lainnya.

Berangkat dari pujian-pujian Aca, Juna berani memamerkan maketnya pada sang dosen, meski ia berujung mendengar perkataan tak mengenakan.

Tak mengapa. Bagi Juna, apresiasi Aca sudah cukup. Itu yang membuat Juna tidak mengabarkan pada Aca, tentang rancangannya yang dicecar dosen, sebab Juna merasa itu bukan masalah, tapi bagi Aca yang mendengar beritanya dari Joni, itu jadi masalah.

"Enggak gitu, Jun. Emang bagus, kok."

Juna sebatas mengangguk. Akan jadi pembahasan panjang apabila Juna menyinggung masa lalu mereka, menguak alasan mengapa ada banyak hal yang tidak ia ceritakan pada Aca. Menurut Juna, yang sudah-sudah, ya sudah.

"Mau liat langsung, nggak? Siapa tahu gitu penilaian kamu berubah. Atau mungkin ada saran yang bisa kamu kasih ke aku. Karena menurut aku, itu nggak cukup bagus, Ca."

Di ujung sana, Aca dengan sorot berbinar, "Mau!"

Juna tersenyum, lagi. "Ayo!"

"Sekarang? Emang kamu nggak lagi sibuk? Kerjaan kamu gimana?"

Kehebohan Aca, tidak ditanggapi. Juna matikan komputernya, mengambil topi, dompet, kunci mobil, tas selempang Aca, lalu menggandeng Aca.

Tiba mereka di rumah yang persis seperti maket di ruang kerja Juna. Hanya saja, ini versi raksasanya. Versi yang bisa Aca masuki dan amati sudut-sudut serta benda-benda di dalamnya, juga versi yang akhirnya bisa Aca beri sedikit masukan.

"Tapi, overall, bagus sih, Jun."

Semua masukan Aca, sudah Juna catat di memori otaknya. Ia tersenyum, mengusap kepala Aca.

"Kalau nanti ini udah jadi dan udah diperbaiki sesuai sama masukan kamu, mau tinggal di sini, nggak?"

Aca menoleh, mendongak, menatap Juna. "Emang ini rumah siapa?"

Oh iya, Juna belum memberitahu.

"Rumah aku."

"Serius?"

Juna mengangguk, tersenyum. Dengan begitu, maka, Aca pun akhirnya tahu bahwa Juna punya rumah yang hampir selesai dibangun.

Tidak ada jawaban mau-tidaknya Aca tinggal di sana. Juna hanya sebatas mendapatkan seulas senyum yang bisa bermacam-macam maknanya, tapi saat ini Juna hanya meyakini satu,

SEANDAINYA KITA MEMULAI KEMBALI [END]Where stories live. Discover now