08

295 78 32
                                    

"Pokoknya jangan telat makan. Kurang-kurangin lemburnya, begadangnya, ngerokoknya, nge-es-nya. Minum air putih yang banyak, yang biasa, kalo bisa yang anget. Apalagi kalo udaranya lagi panas. Sakit tenggorokan, sakitnya nyebar sebadan-badan, udah sering ngerasain 'kan?"

Juna duduk di tepi ranjang, memandang Aca yang sedang menata pakaian ke dalam koper. Iya, hanya memandang, tidak membantu. Hanya mendengar, tidak menjawab.

"Jun, kamu dengerin aku, nggak, sih?"

Sebab Juna bingung harus jawab apa. Otaknya malam ini sedang tidak bisa dipaksa untuk berpikir.

"Nggak usah berangkat ke Italia lagi, ya, Ca?"

Dan, sebab Juna tidak benar-benar menginginkan istrinya pergi.

Di sana, Aca, masih setia dengan aktivitasnya, tanpa melirik Juna, bicara, "Aku mau kerja, Jun."

Sedang tiap kali bicara, mata Juna selalu memandang Aca dengan sorot memohon, "Iya, kerja di sini aja."

"Mau jadi apa di sini? Ngejahit? Uangnya nggak seberapa, Jun."

"Enggak usah kerja. Nggak apa-apa 'kan? Ngurus rumah juga udah capek 'kan, pasti?"

"Kalo nggak kerja, ya, nggak dapet uang."

"Emang uang dari aku nggak cukup?"

"Bukan nggak cukup. Kita butuh lebih banyak, buat biaya persalinan sama keperluan anak kita, nanti."

Di situ letaknya. Juna tidak akan sebegini berat melepas Aca pergi ke negara orang, kalau Aca ....

"Kamu lagi hamil loh, Ca."

Aca diam. Pergerakan tangannya terhenti sesaat, tapi Juna masih belum ia tatap barangkali sekilas.

"Aku bisa lembur biar kerjaan bisa lebih cepet beres, bisa terima job lebih banyak, dan bisa dapet uang lebih banyak juga. Itali, loh, Ca. Jauh. Nanti kalo kamu sama bayi kita kenapa-kenapa gimana? Aku nggak bisa nyamperin kamu sejam-dua jam."

Koper ditutup Aca. "Aku nggak sendirian, kok, Jun. Ada Karlo di sana."

Kini, Juna yang terdiam. Kesedihannya kian menguar sampai ke bola mata. Namun, sial, Aca masih tidak juga menaruh mata padanya sehingga perempuan itu gampang saja bicara,

"Besok aku berangkat sebelum subuh. Karlo yang jemput. Kamu nggak perlu nganter. Istirahat aja! Jam tidur kamu berantakan dari kemarin."

Aca naik ke ranjang, ke sebelah kanan, ruang yang biasanya digunakan Juna sebab Juna masih belum beranjak dari ruang yang biasa digunakan Aca, di sebelah kiri sana. Setidak-mau itu, Aca menatap Juna.

Agaknya, takut, keputusannya untuk kembali bekerja menjadi goyah apabila ia menatap sebentar saja. Aca bahkan tidak segan berbaring dalam posisi membelakangi Juna sekarang.

Juna juga tidak berniat memaksa Aca menatap maupun menghadapnya. Juna berbaring miring di sebelah Aca, menatap punggung Aca, mengusap kepala dan pundak Aca, memeluk Aca, kemudian lirih berkata,

"Aku anter, ya, besok. Bangunin, kalo aku masih tidur."

Entah Acanya dengar atau tidak. Sudah lelapkah atau masih terjaga. Jam tidur yang konon berantakan kemarin-kemarin, Juna buat makin berantakan dengan tidak tidur malam ini. Mumpung sudah terlanjur berantakan, jadi sekalian saja.

Tidur bisa nanti. Mengantar Aca ke bandara, harus sebelum subuh. Kesiangan sedikit saja, hilang kesempatan.

Aca bilang ada Karlo? J

SEANDAINYA KITA MEMULAI KEMBALI [END]Where stories live. Discover now