04

363 82 61
                                    

"Sipilnya udah ada?"

Aca mengangguk. "Karlo udah ada channel-nya. Nanti dia yang bakal ngurusin setelah desainnya beres."

Bersama Juna, Aca sudah ada di sebuah lahan luas yang akan menjadi tempat di mana rumah baru Aca dibangun.

Juna sedang menganalisis posisi lahan, struktur tanah, ukuran, dan menangalisis alasan mengapa Aca  sesekali mengipas-ngipaskan kertas di tangannya atau menutupi wajah dengan benda itu saat terik mentari tepat memapar dirinya.

Sudah Juna katakan, agar Aca menunggu saja di mobil. Pekerjaan Juna itu bukan yang bisa selesai dalam lima-sepuluh menit. Terlebih, cuaca akhir-akhir ini sedang panas-panasnya, apalagi pada menjelang siang seperti sekarang.

Tidak heran, Aca yang belakangan terbiasa dengan dinginnya udara negara orang itu kemudian kewalahan.

Juna tahu tanpa diberi tahu. Tanpa Aca meminta, Juna berikan topinya.

"Permisi, ya, Ca." Ia pasangkan sebab Aca nampak bimbang menerima.

Menurut Aca, Juna jauh lebih membutuhkan benda itu. Juna bekerja, Aca hanya melihatnya bekerja. Aca sewaktu-waktu bisa berteduh, tapi Juna tidak. Karena Aca meminta agar desainnya selesai dalam waktu cepat, Juna juga harus bekerja ekstra cepat.

Tidak gamblang. Aca tadi hanya bertanya pada Juna, berapa kira-kira rentang waktu yang dibutuhkan untuk membangun sebuah rumah. Juna jabarkan secara logis, faktor-faktor yang mempengaruhi rentang waktunya.

Tipe bangunan, desain, struktur lahan, jumlah pekerja, jumlah jam kerja, dan banyak hal lainnya yang akan memakan waktu lebih dari setengah jam kalau dijelaskan selengkap penjelasan Juna pada Aca.

Selama perjalanan, sepanjang duduk di dalam mobil Juna, di sebelah Juna dan mendengarkan semua itu, Aca hanya mengerti satu:

Juna sungguhan berubah jadi manusia berisik. Namun, suaranya sama sekali tidak membuat Aca terganggu. Sebab Juna bicara dengan lisan, sedangkan Aca mendengar dengan hati.

"Mau cepet-cepet jadi rumahnya?"

Maka, ketika Juna tiba-tiba menukar arah pandang dari jalan raya menuju dirinya yang tengah terang-terangan menatap, Aca yang belum sepenuhnya terkoneksi dengan penjelasan dan pertanyaan Juna barusan hanya mengangguk pelan.

Juna ikutan mengangguk, lalu memindahkan lagi pandangannya ke jalan raya, menyetir sembari berpikir.

"Surveinya harus beres hari ini berarti, biar bisa langsung bikin sketsa sama nge-draft. Semoga nanti nggak hujan, deh, ya," katanya yang tidak diamini Aca.

Aca tak benar-benar menginginkan pembangunan rumahnya segera rampung. Apabila desain rumahnya sudah selesai, maka keterkaitannya dengan Juna juga selesai. Karena saat ini, yang mengkaitkan mereka bukan apa-apa melainkan hubungan kerja. 

Selain mantan, sekarang mereka tidak lebih dari arsitek dengan kliennya.

Pertanyaannya ... arsitek mana yang mau menjemput dan mengantar kliennya? Arsitek mana yang meminjamkan topi pada kliennya saat hari sedang terik-teriknya? Arsitek mana yang mentraktir makan kliennya sepulang bekerja?

Tidak ada, hanya Juna.

Menjelang sore, di sebuah saung yang disinggahi untuk makan siang meski jamnya sudah terlewat jauh, sambil menghabiskan gurame bakar-cah kangkung-tahu-tempe-es jeruk, Juna dan Aca terlibat dialog.

"Boleh nanya nggak?"

Dibuka oleh Juna, duduk santai di atas lantai bambu, menekuk dan memeluk lututnya sembari menunggu Aca selesai makan. Ia sudah lebih dulu selesai.

SEANDAINYA KITA MEMULAI KEMBALI [END]Where stories live. Discover now