09

385 84 20
                                    

"Kenapa, Juna?"

Pukul satu dini hari, di tengah ruang kamar yang ditelan gelap, di atas sebuah ranjang, suara Aca membisik di telinga Juna. Pelan dan lembut sekali.

Selanjutnya hening. Juna senyap di lisan, berisik di kepala. 

Aca yang berbaring miring, Juna peluk lebih erat, dari belakang. Punggung Aca, Juna jadikan persembunyian bagi wajah berantakan yang tak ingin ia tunjukkan.

Sampai Aca kemudian berinisiasi memutar balik badan, menghadap Juna, menyingkap poni rambut Juna. Pelan-pelan, wajah Juna diusap-usapnya.

"Ada masalah?"

Juna menggeleng, tersenyum samar-samar.

"Terus kenapa?"

Juna sedang tidak punya energi untuk bercerita. Sehingga, "Nggak apa-apa, capek aja," jadi sepatah kalimat yang ia ucap sebagai jawab.

"Mau dipijitin?"

Juna menggeleng.

"Atau mau 'dilayanin'?"

Juna senyum setengah tertawa. Sudah pernah Juna katakan sebelumnya, Aca adalah rumah ternyaman bagi Juna. Aca tempat kembalinya Juna dari segala kericuhan dunia.

Saat ini, keinginan Juna tidaklah muluk. Ia tahu istrinya juga lelah seharian mengurusnya dan mengurus rumah. Saat ini, melihat wajah cantik Aca, mendengar suara Aca, menerima tatapan penuh cinta Aca, dan ....

"Mau dipeluk."

... mendapatkan pelukan hangat Aca saja, bagi Juna sudah cukup.

Sebelum terlelap di dalam rengkuhan lengan Aca, Juna sempatkan berpesan, "Besok bangunin aku sebelum subuh, ya."

Aca mengangguk saja, tapi tidak benar-benar melakukan. Ketika tiba sebelum subuh, kisaran pukul empat, Juna ditemukan Aca masih dalam keadaan terlelap nyenyak. Aca tidak tega mengusik sebab ia rasa, Juna masih penat, masih butuh tidur lebih banyak. 

Akibatnya ....

"Sarapan dulu, Jun."

"Udah telat aku, Ca. Kamu disuruh bangunin aku sebelum subuh, malah nggak ngebangunin."

... pagi-pagi, Aca sudah harus mendengar kalimat tidak enak keluar dari mulut Juna. Kendati begitu, Aca tak berniat marah, sebab ia sadar bahwa di sini memang ia yang salah.

"Ya udah dibekel aja, ya, sarapannya."

"Nanti beli di luar aja."

"Ini udah mateng, Jun."

"Aku berangkat."

Dengan berat hati, Aca ucap, "Hati-hati," setelah menicum tangan sang suami. Dengan perasaan tidak lega, ia biarkan Juna berangkat ke kantornya.

Nasib makanan yang sudah matang?

Kalau tidak Aca santap sendiri, ya, dibuang. Rumah mereka terletak di perkotaan, tidak ada pintu rumah tetangga yang terbuka untuk Aca sambangi dan Aca beri setidaknya separuh agar tidak berujung mubazir.

Semua penghuni perumahan ini sepertinya orang-orang sibuk, sehingga Aca hampir tidak pernah melihat manusia bersantai-santai di teras rumahnya atau berkumpul sambil berbincang-bincang dengan tetangga.

Akibatnya, Aca kerap merasa bosan di rumahnya sendiri tiap Juna pergi kerja. Teman bicaranya di sini hanya Juna, atau kalau bibinya sedang tidak sibuk dan berkenan mampir, Aca punya satu teman bicara selain Juna. Kalau mau lebih banyak, Aca mesti berkunjung ke rumah paman dan bibinya yang sedari kecil ia tempati dan di sekitarnya banyak orang-orang yang ia kenal.

SEANDAINYA KITA MEMULAI KEMBALI [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang