07

312 72 39
                                    

Satu bulan pertama tanpa presensi Aca di hari-harinya, Juna tentu kewalahan. 

Seringkali, fisiknya ada di tempat kerja, sedangkan metafisiknya berkelana jauh menuju Aca. Kalau tidak mengenang masa lampau saat ada Aca di sisinya, ya, mengkhayalkan pertemuan dengan Aca di masa depan.

Di bulan kedua, Juna mulai beradaptasi dengan nihilnya seorang Aca, mulai kembali bisa fokus ketika bekerja, mulai tidak begitu sering menunggu balasan atas pesan-pesannya untuk Aca, mulai tidak begitu sering menelpon Aca.

Sebab ia paham, dunia seorang Aca bukan cuma soal dirinya.

Di bulan ketiga, Juna mulai terbiasa. Di bulan keempat, Juna terbiasa.

Di bulan kelima, bulan di mana kerinduan di dalam diri Juna akan Aca sudah sangat menumpuk di dada, Juna menyusul Aca ke Italia. 

Berharap dengan itu, dadanya bisa lega. Berharap dengan lima hari mengelilingi Kota Roma bersama Aca di sela-sela kesibukan perempuan itu, Juna kembali punya energi penuh untuk menjalani bulan keenam-ketujuh-kedelapan tanpa ditemani Aca (lagi).

Sialnya, ketika pulang ke Indonesia, Juna kembali harus mengulang dari awal. Juna harus kewalahan dulu lagi, harus beradaptasi lagi, harus mencoba terbiasa lagi, kemudian berpikir untuk menyusul Aca lagi—yang mana Juna tahan. 

Kepulangan Aca ke Indonesia, hanya tinggal menghitung hari.

Aca bilang, Juna hanya mesti bersabar sedikit lagi.

Sampai hari di mana Juna kembali duduk di lobi bandara, menjemput dan menyambut Aca, tiba. Mencoba romantis, Juna bawakan Aca sebuket fresh flower, tidak terlalu besar karena Juna tidak mau Aca kerepotan membawanya.

"Makasih, Jun," ucap Aca sambil tersenyum manis, ketika menerima. 

Juna balas dengan senyum, sebab Juna kembali ke pengaturan awal sebagai manusia pemalu sehingga 'memeluk' jadi keinginan yang berujung ditahan.

Juna derek koper Aca karena kedua tangan Aca habis berperan sebagai 'apa yang Juna genggam', dan menggenggam 'apa yang Juna berikan'. Sederhananya, tangan kanan Aca digenggam Juna, sedang tangan yang lain menggenggam buket bunga dari Juna.

"Mau makan pizza nanti malem?"

"Ayo!"

Sebuah kemajuan, di tengah-tengah sesi melangkah beriringan keluar bandara, Juna rangkul Aca setelah sempat memberikan usapan pelan di kepala, senyuman, dan tatapan sayang. Aca balas dengan perlakuan yang hampir serupa.

Aca tersenyum, menatap Juna sayang, mengusap kepala Juna untuk menyingkirkan sawang atau kotoran yang biasanya melekat di langit-langit rumah.

Aca tahu, Juna hari ini tidak benar-benar senggang. Juna punya agenda survei bangunan lama yang akan didesain dan dibangun ulang. Menjemput Aca adalah agenda yang Juna sisipkan di antara padat agenda kerjanya.

Aca diantar Juna pulang setelah dijemput, dan setelah meminta maaf kerena tidak bisa mengajak Aca makan siang. Ia mesti buru-buru kembali ke lokasi kerja. Aca pun paham.

"Nanti malem aja," katanya, mengulas senyum.

Ketika Juna membuka pintu mobil hendak kembali masuk, Aca dari balik gerbang rumah paman dan bibinya memanggil nama Juna.

Tidak bicara apa-apa. Aca hanya menarik bibir mendatar, mengangkat tangan yang mengepal, seolah-olah berkata, "Semangat!"

Juna balas dengan senyum. Magis saja, tingkah Aca itu seperti punya kekuatan hebat menyingkirkan penat yang Juna rasa. Juna jadi punya lebih banyak energi untuk membereskan kerjaan hari ini.

SEANDAINYA KITA MEMULAI KEMBALI [END]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon