05

343 85 60
                                    

Hari saat di mana Juna berkenalan langsung dengan Karlo, tiba.

Ke lahan yang akan menjadi tempat dibangunnya rumah baru Aca, Karlo menyusul Juna dan Aca dengan membawa seseorang mandor yang akan membawahi para pekerja.

Seperti apa kata Aca, Karlo tampak rupawan. Lebih dari pada itu, Karlo tampak begitu akrab dengan Aca.

Ketimbang Juna, Aca jauh lebih banyak berbincang dengan Karlo. Memperbincangkan apa pun. Pekerjaan, gosip di tempat kerja, rumah baru Aca, sampai siklus hidrologi pun diperbincangkan di kala langit siang itu berhiaskan mendung.

Ketimbang Aca dan Karlo, Juna jauh lebih banyak berbincang dengan si mandor. Berkoordinasi untuk banyak hal berkaitan dengan rumah Aca yang desainnya sudah ia rampungkan kemarin.

Iya, Juna datang kemari untuk bekerja, bukan untuk mencemburui laki-laki yang konon bekerja lima tahun untuk Aca.

Tidak seperti ketika Juna memberikan Aca topinya, Aca tidak tampak bimbang ketika menerima jaket Karlo sewaktu mereka hendak pulang karena hujan deras tiba-tiba datang.

Juna cemburu? Ketimbang itu, agaknya pertanyaan yang lebih pantas adalah apakah Juna berhak cemburu?

"Bareng gue? Atau bareng mas-nya?"

Aca nampak bimbang ketika Karlo bertanya.

"Bareng gue aja, yuk! Ngerepotin mas-nya mulu lo!" Tangan Aca ditarik Karlo pelan.

Pelan-pelan, Aca menjauh dari Juna setelah bersuara singkat, "Jun."

Singkat pula, Juna tersenyum. Seakan tahu maksud Aca memanggil namanya bukan untuk apa-apa, melainkan untuk pamit.

Mobil yang dibawa Karlo melaju lebih dulu, sedangkan mobil Juna mengekor di belakangnya. Ada saat di mana Juna menerima pesan singkat dari Aca berisi ucapan terima kasih dan hati-hati di jalan.

Sesuatu yang wajar, tapi sudut-sudut hati Juna bergetar.

Dan, itu pada akhirnya mendorong Juna untuk melakukan sesuatu yang tidak wajar. Bukan pesan 'sama-sama, Ca' yang ia kirimkan pada Aca sebagai balasan, sebagaimana biasanya. Bukan pula ketikan kata-kata apa pun.

Dalam posisi menyetir, Juna tekan tombol voice note, mendekatkan ponsel pada lisannya, lalu bicara, "Kalo hujannya nanti reda, mau dinner, nggak?"

Kepada Aca, Juna kirimkan pesan suaranya.

Tidak butuh waktu lama untuk sebuah balasan diterima. Kata Aca, juga melalui pesan suara, "Boleh. Aku yang traktir, ya."

Diputar Juna berulang kali. Akibatnya, senyum tipis-tipis di wajah Juna juga timbul berkali-kali.

Pukul tujuh malam, Juna menjemput Aca.

Aca memang sudah cantik sejak Juna mengenalnya jaman mereka masih mahasiswa. Dan kini, dalam balutan blouse berpadu rok tile panjang, Aca tampak lebih daripada cantik.

Tak heran, Aca sekarang adalah model brand besar. Sekedar informasi, Juna kerap melihat-lihat beberapa situs resmi dan sosial media brand F. Bukan untuk mengintip katalog-katalog keren di sana, tapi mengintip kecantikan Aca yang jauh di Italia sana.

Dan, akhirnya, Juna bukan lagi sekedar mengintip, melainkan menatap dengan sejelas-jelasnya dan senyata-nyatanya.

Persis seperti di foto? Tidak. Aca jauh lebih cantik ketika ada di depan mata.

Di sebuah restoran mewah, Aca duduk di hadapan Juna, menyantap pasta dan hidangan lainnya yang Juna pesankan dan Juna lunas bayarkan, meski Aca sudah bilang kalau ia yang mau traktir.

SEANDAINYA KITA MEMULAI KEMBALI [END]Where stories live. Discover now