Chapter 107 ♗

151 26 7
                                    

Ruangan kerja Frey diisi oleh kekhawatiran. Lantaran ada seseorang yang belum kunjung nampak padahal keempat rekannya yang lain sudah pulang. "Orang itu...." Frey mengigit-gigiti kukunya. "Padahal waktu penobatanku sudah tinggal hanya hitungan hari. Jangan bilang, dia terlibat dalam suatu masalah?"

"Ki- Kita harus mencarinya..." Wistar berujar cemas. Sungguh, tadi dirinya dan Dylan memisahkan diri dari Valias karena mereka berniat untuk mencari cermin ajaib itu. Ketika mereka melihat Valias tidak ada di tempatnya mereka kira Valias sudah lebih dulu merobek perkamennya. Tapi ternyata Valias justru yang paling terlambat? Dan lama waktu yang berlalu juga sudah ke tahap mencemaskan.

Edgar, Wistar, Dylan, Alister, dan Kei yang kini ada di sana setelah mendengar apa yang terjadi dari tempatnya berada sudah berniat untuk pergi ke Karsia untuk mencaritau kemana kira-kira Valias pergi. Tapi tadi Frey selalu menahan mereka. Itu karena, Frey khawatir jika mereka pergi, hal itu akan justru memperkeruh keadaan. Karena dia sama sekali tidak punya perkiraan akan situasi di Karsia sekarang.

Edgar merasakan dirinya diliputi kecemasan juga. Meskipun dia mungkin belum sedekat itu dengan Valias tapi dia bukanlah tidak mengenalnya. Valias tidak pernah menyusahkannya. Bangsawan itu mungkin datang meminta bantuannya yang seorang mage, tapi remaja itu bukanlah seseorang yang seenaknya datang untuk merepotkan siapapun. Edgar bisa langsung mengetahui itu hanya dalam sekali berdialog dengannya. Dari hal itu saja dia merasa Tuan Muda Valias Bardev bukanlah seseorang yang pantas untuk dikesampingkan begitu saja. Edgar merasa bersalah. Dia merasa dia punya keharusan untuk memastikan putra bangsawan itu kembali pulang dalam keadaan tanpa terluka.

Dalam situasi gerak-geriknya tertahan oleh ucapan mutlak Frey, dia teringat pada sosok Jowan, Caessar, dan Koubun Jaeha nya. Mereka tipikal orang yang berani melawan seseorang seperti Gubernur Jorel sekalipun. Dia merasa ini waktu dimana dia harus berkiblat pada karakter ketiga orang itu. Dan jika dia memang ingin mendebat Frey, dia harus mengatakan sesuatu yang bisa membuat Frey cukup yakin untuk merubah keputusannya. "Saya mempunyai usul, Yang Mulia."

Frey mendengar Edgar. Mengerutkan kening. "Apa?"

"Saya mengerti yang Yang Mulia khawatirkan," Edgar bicara. "Tapi keselamatan Tuan Muda Valias tidak boleh ditunda-tunda lagi. Kita juga sudah terlalu banyak membuang waktu."

"Izinkan saya dan Mage Vetra yang pergi mencari Tuan Muda Valias," katanya. "Kami tidak akan kembali sebelum kami menemukannya."

Frey menaikkan sebelah alisnya skeptis dengan kerutan di kening. Bertanya. "Apa yang membuatmu merasa kau dan Mage Vetra bisa menemukannya?"

"Kami bisa membuat diri kami tidak terlihat mata dengan sihir manipulasi cahaya," kata Edgar. "Kami akan terus mencari bahkan jika kami harus menerobos suatu tempat."

Indra dan kesadaran Frey menajam. Membuatnya berkata rendah.

"Kenapa baru mengatakannya sekarang?"

Edgar terdiam menyadari kelambatannya. "Maafkan saya. Sebelumnya saya masih tidak percaya diri." Dia merendahkan dirinya.

Frey berwajah masam. Tapi dia sadar dia harus lebih dulu mengesampingkannya. Lebih baik memanfaatkan apa yang saat ini tersedia.

"Aku mengerti," Frey mencubit ruang di antara alisnya. "Pinta Mage Vetra kemari."

Edgar membuat komunikasinya dengan Vetra yang ada di Sinfhar. Di saat itu Wistar berujar pada Frey. "Kakak. Aku juga akan pergi mencarinya."

"Tidak." Frey langsung melarang. "Kau dan Dylan tetap di sini."

"Tapi bukankah jika lebih banyak maka akan lebih baik?" Wistar memelas.

"Ini tidak sama, Wissy." Frey berujar dengan gurat wajah lelah.

[HIATUS] Count Family's Young Master 백작가의 젊은 주인Where stories live. Discover now