Malaikat Maut dan Arwah Penasaran

9 5 0
                                    

Prompt: Kamu sangat mencintai dirimu. Tapi saat kamu ketemu sama diri kamu yang lain, bagaimana kamu mencintai kamu?

Genre: Fantasy
Wc: min. 300 kata
Format: cerpen
Wc : tembus 2,3k wkwkw.

—---

Kamu tahu, bagaimana caraku mencintai hidupku?

Dengan mensyukuri segala yang kupunya.

Aku mencintai uang dengan sepenuh jiwaku. Karena itu aku bekerja keras hingga bisa berfoya-foya. Tidak perlu kekasih yang mencintai, hanya perlu rekening yang mencukupi.

Hidupku sempurna, bagiku. Karena itu milikku, selalu.

Tapi, mengapa aku harus mati?

Hari itu, di pukul tujuh, berjalan dari kantor, kereta api raksasa mendadak menabrakku.

Sialan….

Meskipun mati, aku masih bisa bercerita lah!

Haha, lihatlah seseorang yang berdiri tegak di sampingku. Tubuhnya lebih tinggi 30 sentimeter, membuatku  harus mendongak. Rambut hitamnya sepanjang leher, potongannya berantakan dan poni menutupi sebagian dahi. Wajah putih porselennya tirus dan rahangnya yang tajam terkesan akan melukai. Jika saja dia manusia, orang-orang mungkin akan menganggapnya seorang emo dan anggota sekte aliran sesat. Tapi katanya, seorang malaikat maut itu pesuruh Tuhan dan bermusuh dengan setan.

“Sudah siap, melihat contekkan kehidupanmu yang lain sebelum terlahir kembali?” Dia melirikku dengan sudut matanya yang tajam itu. Garis hitam di bagian bawah matanya selalu membuatku merinding. Caranya menatapku seperti sudah membenciku seumur hidup.

“Memangnya hidupku akan seperti apa?”

Dia mengangkat bahu. Terlihat sangat tak acuh. “Lihat sendiri nanti.”

“H-hei!” Aku terkesiap merasakan cengkeramannya di pinggang seiring dia menarikku mendekat.

“Pegangan.” Dia juga meraih tanganku dan meletakkannya di bahunya.

Aku mencebik. “Harus gitu, sedekat ini?--Aaakh!”

Jantungku berdegup dengan kencang begitu dia melepaskan dirinya ke udara. Tubuh kita berdua menukik membumi, terbalik begini membuatku pusing dan dilanda panik hebat.

Malaikat maut sialan!

Dia sepertinya penyuka adrenalin, jadi membawaku menuruni puncak monas di tengah hari. Meski sudah menjadi arwah, aku tetap merasakan panasnya matahari di atas kepala tahu!

“Bodoh, bodoh, bodoh! Laywa, hentikan!”

“Kau takkan mati dua kali jika sudah arwah, Redana.” Lelaki itu terkekeh kecil sembari menutup matanya. Tidak pernah kubayangkan bahwa seorang pria cocok mengenakan celak mata hitam keabu-abuan di sepanjang kelopaknya. Rautnya nampak begitu menenangkan tatkala menikmati sensasi begitu  kami jatuh dari ketinggian. Sebelum dia merebakkan sayapnya dan kami mulai melayang dengan perlahan.

“Kenapa menatapku terus?” Dia membuka suara dan matanya. Pupil abu-abu itu melemparkan tatapan setajam mungkin.

Aku mengalihkan pandangan. “Mana ada.”

“Ingat, jangan jatuh cinta pada malaikat. Apalagi pencabut nyawa sepertiku.” Lagi-lagi Laywa mengucapkan kalimat yang sama seperti saat pertama kali aku membuka mata setelah kematian. Hanya karena  aku menatapnya tanpa berkedip selama lima menit.

“Iya, tahu! Harusnya aku yang bilang, kau jangan jatuh cinta padaku juga. Akukan secantik malaikat!” Balasku dengan percaya diri dan tersenyum miring.

Folklore - [ Bpc monthly Prompt! ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang