Bab 2 : Pindah rumah

80 25 107
                                    

"Terkadang sebuah sandiwara bisa ditutupi dengan mudah, seolah sandiwara yang mereka buat merupakan kenyataan yang sebenarnya." -Sabiru Bramasta Daneswara-

🏮

Usai membayar dan menerima kembalian, Sabiru berlari menuju rumah paman dan bibinya dengan deru napas yang tak beraturan. Sambil membawa kresek berisikan salep untuk mengobati luka, Sabiru terus mengingat ancaman mereka berdua.

"Duh, sial. Kayaknya gue bakal beneran diusir," umpat Sabiru.

Setelah tiba di pintu utama, pemuda itu hendak membukanya. Namun, keraguan yang menyelimuti hati membuat Sabiru hanya terdiam tanpa memutar kenop pintu.

"Apa gue bakal masih di kasih kesempatan buat numpang di sini?" Ia bermonolog. Di waktu yang bersamaan, kenop pintu terbuka dan menampilkan wajah paman dan bibinya yang sedang menahan marah.

"O-om, T-tante, Biru bisa jelas_"

Sebelum Sabiru sempat menjelaskan kejadian yang menimpanya, Paman Sabiru sudah melemparkan sebuah koper dan beberapa baju ke arah Sabiru, membuat pemuda yang malang itu menghela napas berat.

"Om, tolong kasih kesempatan buat Biru sekali lagi. Biru janji nggak bakal tawuran lagi, Paman. Tadi itu urgent, makanya Biru ngelawan buat nyelamatin cewek yang mau diper_"

"Siapa perempuan itu sampai kau peduli padanya?" Karin, Tante Sabiru menyela. Wanita itu menyilangkan tangannya di dada.

Pertanyaan Karin membuat amarah kian timbul di hati Sabiru. Pertanyaan macam apa itu? Bukankah yang berada di depannya juga adalah seorang perempuan? 

"Biru_"

"Diam, kamu. Sekarang bersiap-siaplah. Samudra dan istrinya akan pulang malam ini. Jika di tanya, jawablah kami mendidik dan menjagamu dengan benar. Mengerti?" tanya Radhika menekan ucapannya. 

Sabiru terdiam sejenak, lantas menganggukkan kepalanya. Mau tidak mau pemuda itu kembali memendam apa yang ingin ia utarakan. 

"Ya sudah, kami tunggu di mobil."

Setelah Karin dan Radhika berjalan ke mobil, pemuda itu masuk ke dalam dan mengunci pintu. Ia merapatkan bibirnya seraya memegang lengan kirinya yang terdapat luka lebam, hasil dari mereka yang suka melampiaskan kemarahan pada Sabiru.

Lagi-lagi omongan Biru gak didengerin. Apa susahnya dengerin penjelasan? Tuhan, Biru kuat, kan? Batin Sabiru. 

Beberapa saat kemudian, Sabiru sudah tiba di rumah lamanya. Rumah yang menyimpan setidaknya sedikit kenangan indah, sebelum hidup Sabiru menjadi seperti ini. Ia berjalan memasuki rumah didampingi oleh paman dan bibinya.

"Assalamualaikum. Bang Sam, Biru udah nyampe." Radhika mengetuk pintu seraya mengucapkan salam. 

Tak lama, terdengar seorang pria membukakan pintu dan menjawab salam Radhika.

"Wa'alaikumussalam. Makasih udah antar anakku kembali ke rumah dengan selamat. Biru, ucapin apa ke Paman sama Tante?" Samudra melirik putra tengahnya sambil tersenyum simpul.

Sabiru cengengesan sembari menggaruk tengkuknya. "Makasih, Om, Tante. Maaf Biru banyak ngerepotin kalian."

"Gapapa, gak usah sungkan kayak gitu. Kamu kayak ke siapa aja, ah. Kamu gak ngerepotin kami, kok. Kan kamu udah dianggap sebagai anak Tante juga," sahut Karin mengelus puncak kepala Sabiru sembari tersenyum hangat.

"Itu bener. Kamu tahu? Kita bakal ngerasa sepi karena kamu udah dirawat dan bareng terus sama Om sama Tante. Baik-baik di rumah kamu yang sekarang, jangan nakal, loh. Rumah kami terbuka buat kamu." Radhika ikut menambahkan perkataan Karin. Pria itu bahkan mencubit gemas pipinya seraya tertawa bersama Samudra.

Sabiru dan Harapannya Where stories live. Discover now