Bab 8 : Tanggung jawab

12 4 22
                                    

"Dari sekian banyaknya tutorial, kenapa gak ada yang ngasih tutorial jadi anak pertama yang apa-apa harus bisa sendiri?" -Halilintar Dirgantara-

🏮

Keesokan paginya, Halilintar sudah siap dengan seragam sekolah. Ia menyeru Sabiru dan Galih untuk sarapan. Namun, hanya Galih yang turun, sementara Sabiru masih mengurung dirinya di kamar.

"Bang, hati-hati di jalan, ya," ujar Galih mencium tangan Halilintar.

"Hm. Lo juga cepet sembuh." Halilintar menolehkan kepalanya ke lantai atas, lantas kembali menatap Galih. "Tuh anak masih mogok makan?"

"'Iya kayaknya, Bang. Bang Biru butuh waktu buat sendirian. Nanti Galih anterin makanan punya Bang Biru ke kamarnya."

Halilintar memutarkan kedua bola matanya.

"Gak usah, Galih. Biarin aja dia turun sendiri. Kalau kebiasaan gitu, yang ada dia jadi manja. Nanti sikapnya makin gatau diri melebihi kemarin malam. Lo liat aja kemarin, berani ngebentak gue. Kayak gak pernah diajarin sopan santun hidupnya. Keliatan bukan orang beradab," protes Halilintar sangat tidak setuju dengan keputusan Galih.

Galih menghela napas panjang mendengar Halilintar yang keberatan.

"Bang, Abang juga jangan terlalu kasar, lah. Kasian Bang Biru," tegurnya.

"Halah, dia baperan kalo gitu. Dia harus punya mental yang kuat, jangan apa-apa ngambek kayak cewek. Dia itu cowok, loh." Halilintar kembali protes.

"Udah lah, gue mau ke sekolah. Udah hampir telat. Lo jangan lupa hari ini periksain diri ke dokter. Gue pulang, lo harus udah konsultasi ke dokter. Ntar gue mau interogasi lo. Assalamualaikum."

Tanpa berharap menunggu jawaban Galih, Halilintar lekas menutup pintu dan mulai mengenakan helm. Pemuda itu mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan sedang.

Setelah ia tiba di sekolah, Halilintar memarkirkan motor dan berjalan menuju kelasnya.

Baru saja Halilintar melewati lorong, suara perempuan yang mengaguminya membuat Halilintar semakin pusing. Ia dikategorikan sebagai siswa yang populer di sekolah, terlebih di kalangan perempuan.

Selain karena ketampanannya, Halilintar dikagumi karena kemampuannya dalam karate serta kecerdasan yang melampaui si ranking satu di kelas.

"Berisik amat," gumam Halilintar mengabaikan lirikan para gadis.

Jika dilihat-lihat, Halilintar memang tampan. Terlebih lagi tubuhnya yang tinggi dan bahunya yang lebar, menjadi salah satu alasan mengapa para gadis menyukai Halilintar. Pemuda itu juga memiliki tatapan tajam dan suara yang mampu menghipnotis para gadis untuk jatuh cinta.

Tak lama, Halilintar sudah tiba di kelas. Ia menyimpan tasnya dan berjalan menjauh dari kelas. Alasan ia tidak betah berada di kelas, karena anak-anak di kelasnya sangat berisik. Halilintar membenci kebisingan.

Ia pun memutuskan untuk pergi ke rooftop sekolah, tempat kesukaannya. Tak banyak orang yang menyukai rooftop, bahkan hanya sedikit orang yang sengaja berlama-lama di sana.

"Hhh."

Pemuda itu menghirup udara segar sebanyak-banyaknya, lalu menghembuskan secara perlahan. Tatapannya mulai terlihat kosong seiring perkataan Samudra dan Adhya menggema di kepala.

"Halilintar, kamu anak pertama. Tanggung jawabmu besar. Kamu harus bisa berperan jadi kakak sekaligus orang tua dikala kami lagi gak bisa memantau kalian dari dekat," ujar Adhya.

Halilintar saat itu hanya termenung. Ia tidak habis pikir dengan orang tuanya. Saat ini kondisinya sedang lelah, baik fisik maupun mental. Tidak bisakah Adhya membahasnya nanti saja?

Sabiru dan Harapannya Where stories live. Discover now