Bab 4 : Teguran

23 6 14
                                    

"Ketika suaramu tak pernah didengar, maka di saat itulah kau baru menyadari bahwa diam adalah keputusan yang tepat." -Sabiru Bramasta Daneswara-

🏮

Sore harinya, Sabiru merebahkan dirinya di sofa yang empuk dengan tatapan mengantuk. Pemuda itu merasakan kantuk yang amat berat, membuat Sabiru sering melirik jam dinding.

"Bang, Biru ngantuk," rengek Sabiru. Kesadarannya hampir direnggut kegelapan.

"Bangun, anjir. Mau Magrib," tegur Halilintar tiba-tiba melemparkan bantal sofa tepat ke arah wajah Sabiru, lalu duduk di kursi sebelah Sabiru dengan wajah tak berdosa.

Hal itu sontak saja membuat Sabiru terbangun dan merasa terkejut. Ia mengucek matanya seraya menghembuskan napas kesal.

"Dih, mukanya kayak gak punya dosa sama adek sendiri. Mana ngambil makanan kesukaan Biru," gerutu Sabiru ikut mengambil brownies buatan ibunya.

Halilintar tak menggubris. Ia memilih untuk menikmati brownies sambil menonton film kartun.

"Wah, pada bahas apa kalian? Galih join, dong," ucap Galih ikut duduk di samping Sabiru dan mengambil kue brownies.

"Tuh, bahas abang lo yang hampir ketiduran menjelang Magrib." Halilintar menjawab Galih tanpa mengalihkan pandangannya dari kartun yang ditayangkan di televisi.

Tatapan Galih beralih melihat Sabiru yang kesal dengan Halilintar. Pemuda itu tersenyum tipis dan tertawa pelan melihat kedekatan Sabiru dengan kakak pertamanya.

"Akur banget. Emang Abang tidur jam berapa kemarin? Kok jam segini hampir ketiduran?" tanya Galih.

Sabiru mengerutkan keningnya, berusaha mengingat kapan ia tidur kemarin malam.

"Duh, lupa, Galih. Abang lupa kemarin tidur jam berapa. Intinya yang terakhir kali diinget, Abang masih main HP, habis itu ya mungkin tidur," jawab Sabiru sembari menggaruk tengkuknya.

Jujur saja, Sabiru tidak ingat mengapa ia menjadi lebih pelupa seperti sekarang.

"Loh, kok bisa gitu, Bang?"

"Gak tahu juga, Gal. Udahlah, lupain. Oh iya, gimana sekolah kamu?" Sabiru cepat-cepat mengganti topik agar Galih tidak bertanya lebih dalam mengenai ingatannya.

"Galih baik-baik aja, Bang. Palingan sibuk sama kerjaan OSIS, kebetulan Galih ketuanya," jawab Galih.

Sabiru sempat terkejut, meski beberapa saat kemudian tatapannya menyiratkan rasa bangga. Tangan Sabiru terangkat, lantas mengelus kepala Galih dengan penuh kelembutan.

"Bagus, bagus. Jangan kecapean, ya," tegur Sabiru.

Galih tersenyum seraya menganggukkan kepala. "Iya, Abang."

Tak lama setelah percakapan berakhir, Adhya datang bersama Samudra dalam keadaan cukup letih. Melihat kedua orang tua mereka sudah kembali, Halilintar, Sabiru dan Galih berjalan mendekat.

"Selamat datang, Mama, Ayah," sambut Galih mencium tangan mereka. Disusul oleh Halilintar dan Sabiru.

"Kalian kayaknya capek. Mau Biru bikinin minum?" tawar Sabiru mencoba dekat dengan orang tuanya sendiri.

"Enggak usah, Nak. Kebetulan Mama sama Ayah lagi pengen ngomong sesuatu ke kamu." Adhya menolak mentah-mentah, membuat mereka bertiga mengernyit heran.

Tak ingin banyak bicara, mereka bertiga kembali duduk di sofa beserta kedua orang tuanya. Entah mengapa suasana di ruang keluarga terasa sedikit mencekam, terlebih lagi untuk Sabiru.

"Ma, Mama mau ngomongin apa sama Biru? Kok kayaknya serius banget?" tanya Sabiru berusaha memecah keheningan.

"Tadi waktu di jalan pulang, Mama sama Ayah ketemu Karin dan Radhika. Kami sempat ngobrol sebentar. Katanya sewaktu kamu sekolah, kamu sering bolos. Apa itu bener, Sabiru?" Samudra bertanya dengan nada dingin.

Sabiru dan Harapannya Donde viven las historias. Descúbrelo ahora