Bab 9 : Pertemuan kedua

5 3 3
                                    

"Dunia terlalu keras untuk kita yang perasa." -Regita Putri Cahyani-

🏮

"Galih, yuk ke dokter. Sekalian Abang juga mau cek kesehatan," ajak Sabiru sudah siap dengan jaket biru langit miliknya.

Galih yang sedang tiduran di sofa segera membuka mata dan langsung menghampiri Sabiru dengan langkah gontai, hampir terjatuh jika saja Sabiru tidak cekatan menahan tubuh adiknya.

"Abang sakit apa?" tanya Galih dengan nada yang begitu khawatir.

Sabiru menatap prihatin. Ia menghela napas seraya menggelengkan kepala. "Abang cuman mau cek kesehatan, kok. Sekalian nemenin kamu. Uang yang dikasih mama sama ayah juga kayaknya cukup, deh. Abang udah kasih tahu kondisi kesehatan kamu."

"Udah termasuk uang buat Abang cek kesehatan, kan? Bukan cuman buat Galih doang?" Galih kembali bertanya, kini sudah bisa mengatur keseimbangan. Kekhawatiran dari sorot matanya seolah tak pernah hilang.

"Iya," jawab Sabiru tersenyum simpul. "Ya udah, Abang ambilin jaket kamu dulu. Bentar, ya. Kamu duduk dulu di sofa. Hati-hati jalannya, nanti pusing lagi kayak tadi."

Setelah itu, Sabiru berlari menuju kamar Galih. Gerakannya begitu cepat, membuat Galih hanya bisa diam menatap belakang punggung Sabiru. Sosok seorang kakak yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Menurut Galih, Sabiru tidak seburuk yang Halilintar lontarkan kemarin malam. Di matanya, Sabiru adalah kakak yang bertanggung jawab.

Tak lama kemudian, Sabiru kembali dengan membawa jaket milik Galih. Ia menghampiri Galih yang terlihat lemah.

"Sini Abang bantu kamu pake jaketnya," ujar Sabiru membantu Galih memakaikan jaket.

"Abang," seru Galih di sela-sela rasa pusingnya.

"Hm?" Ia menoleh setelah semuanya selesai.

Pemuda itu tersenyum saat tahu Sabiru mau menatapnya. Bibir pucatnya itu melengkung membentuk senyuman. "Makasih, ya. Abang udah mau perhatian sama Galih. Galih juga mewakili bang Hali buat minta maaf atas kejadian kemarin. Galih yakin, Bang Hali bangga sama apa yang Abang lakuin ke Galih."

Mendengar hal itu, Sabiru terdiam sejenak. Tak lama, ia tersenyum simpul seraya membantu Galih untuk berdiri.

"Tunggu di luar, yuk. Tadi Abang baru pesen ojek soalnya," ajak Sabiru. Jelas sekali bahwa Sabiru sangat menghindari topik tersebut.

Galih hanya mengangguk pelan, tidak banyak bicara. Pusing di kepalanya membuat pemuda itu hanya ingin terus memejamkan mata, tak bisa tersenyum hangat seperti apa yang selalu ia lakukan.

Setelah sampai di puskesmas, Galih mengambil nomor antrean. Mereka duduk di kursi yang tersedia, menunggu nama Galih dipanggil.

Cukup lama mereka tidak mengeluarkan suara, membuat suasana menjadi cukup canggung. Namun, keadaan berubah tatkala ada seorang gadis yang duduk di samping Sabiru.

"Loh, Regita?"

Regita menoleh sesaat ke arah Sabiru dan Galih.

"Lo pelanggan yang waktu itu?" tanya Regita penuh keraguan. Ia melepaskan kacamata untuk membersihkan lensanya.

"Iya, itu gue. Oh, iya. Kenalin, gue Sabiru Bramasta Daneswara. Gue gak sempet ngenalin diri waktu itu," jawab Sabiru mengulurkan tangannya. Gadis itu mendengus kasar, kembali memakai kacamata miliknya dan mulai menyahut.

Sabiru dan Harapannya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang