Bab 10 : Kelabu

16 4 1
                                    

"Amarah seorang Kakak tidak selalu menandakan kebencian untuk adiknya." -Halilintar Dirgantara-

🏮

"Lah, Sabiru mana, Galih? Udah jam 8 malam kok belum pulang?" tanya Halilintar setelah menyalakan lampu.

Galih yang sedang berbaring lemah itu mengubah posisinya menjadi duduk, dibantu oleh Halilintar yang sigap memberikan bantal.

"Tadi bilangnya bang Biru mau cek kesehatan di dokter yang berbeda dari Galih, tapi sampai sekarang bang Biru masih belum pulang. Galih mau telepon nggak ada tenaga buat pegang HP," jawab Galih dengan nada yang parau.

Dahi Halilintar berkerut. Buru-buru Halilintar membuka ponselnya dan menekan tombol panggilan, menunggu jawaban dari Sabiru. Namun, panggilan terputus tanpa adanya jawaban. Hal itu membuat Halilintar berdecak sebal.

"Cih, punya HP tapi gak pernah jawab telepon. Gak aktif lagi. Tuh anak ke mana, sih," gerutu Halilintar segera mengirim pesan ke kontak Sabiru, berharap saat ponsel Sabiru kembali aktif, adiknya bisa membaca pesan yang ia kirim.

"Bang, kalau bang Biru udah pulang, jangan marahin dia kayak kemarin malem. Galih aja yang dengernya sakit hati," ucap Galih melirik Halilintar dengan tatapan memohon.

Halilintar menoleh seraya menghela napas berat. Ia mengelus puncak kepala Galih dan tersenyum lembut.

"Ya udah, maafin Abang."

"Minta maafnya jangan ke Galih, tapi ke bang Biru." Galih meralat ucapan yang Halilintar lontarkan.

Halilintar kembali menghela napas berat. "Iya, nanti Abang minta maaf ke Sabiru. Bentar, ya. Tadi Abang beliin makanan buat kalian, Abang siapin dulu nasinya."

Galih menganggukkan kepalanya. Ia mengalihkan tatapan ke arah pintu, berharap kakak keduanya pulang membawa senyuman yang selalu menghangatkan hati Galih.

Bang Biru, sebenernya abang ke mana? Kita khawatir.

Beberapa saat kemudian, Halilintar kembali membawa sup hangat dan sepiring nasi.

"Mau Abang suapi?" tanya Halilintar sudah siap dengan sendok di tangannya.

Galih mengangguk. Kapan lagi ia bisa manja kepada kakak-kakaknya? Toh, selama ini mereka hidup terpisah.

"Gimana tadi kata dokter?" Halilintar kembali bertanya setelah menyuapi Galih.

"Kecapean. Harus minum air banyak-banyak, jangan ngelakuin dulu aktifitas berat. Dikasih obat juga, kok," jawab Galih.

"Abang sendiri kenapa baru pulang sekarang?"

Halilintar terdiam sesaat mendengar pertanyaan yang dilontarkan Galih. Tak lama, ia tersenyum tipis dan mengacak surai rambut adiknya.

"Ada urusan. Udah, jangan nanya. Nih, makan lagi yang banyak, biar cepet sembuh," ujar Halilintar kembali menyuapi Galih.

Pemuda itu mengangguk dan menerima sup tersebut hingga suapan terakhir. Tak lama, Halilintar menyodorkan air putih untuk Galih.

Suasana hening beberapa saat. Mereka berdua hanyut dalam pikiran masing-masing, hanya terdengar jam yang berdetak.

"Bang," panggil Galih setelah lama bertahan dalam keheningan.

"Hm?"

"Tahu nggak? Tadi pagi, bang Biru protektif banget sama Galih, loh. Semua pekerjaan, dia yang kerjain. Bahkan masakin Galih bubur. Pas Galih mau berdiri dan oleng, bang Biru cekatan nahan Galih. Dia kayak Bang Hali kalau lagi serius. Dingin, tajam, dan tegas," ujar Galih menceritakan apa yang Sabiru lakukan.

Sabiru dan Harapannya Where stories live. Discover now