Helena tersenyum manis saat cahaya matahari menyinari kamar mereka, menciptakan suasana hangat. Dia melirik suaminya, Marvin, yang masih tertidur pulas di sampingnya. Malam itu sebenarnya mereka memutuskan untuk menunda malam pertama mereka karena kelelahan setelah pernikahan yang penuh dengan emosi.
"Marvin, ayo bangun," seru Helena sambil melingkarkan tangannya di leher Marvin, memeluknya dengan lembut. Marvin hanya berdehem dan masih enggan untuk bangun.
Helena mengerucutkan bibirnya dengan manis, tangannya mulai bermain di rambut Marvin dan meluncur turun ke keningnya, pipinya, hingga akhirnya berhenti di bibirnya. Dengan gemas, Helena menarik perlahan bibir Marvin, membuat Marvin sedikit terbangun dari terlelap.
Helena tersenyum manis melihat wajah suaminya yang begitu dekat dengannya. "Berikan aku ciuman pagi," ucap Marvin dengan suara serak khasnya ketika baru bangun tidur. Helena tersenyum lebar sembari mendekatkan wajahnya.
Dengan lembut, Helena mencium bibir Marvin dan memberikan sedikit lumatan, sadar bahwa masih pagi dan mereka tidak ingin terlalu lama. Setelah selesai, dia menjauhkan wajahnya, namun Marvin ternyata masih memejamkan matanya. "Sudahlah kemarin kita sudah banyak berciuman, ayo bangun," ajak Helena sambil menekan-nekan hidung Marvin.
Namun Marvin merespon dengan nada canda, "Ciumanmu tidak bisa kurasakan," katanya sambil tetap memejamkan matanya. Helena menggelengkan kepala sambil mendorong kecil dada Marvin dengan sedikit kesal. "Kamu tidak akan merasakan ciuman apapun jika itu bukan ciuman panas, ya kan, Marvin?" Helena berdecak kecil.
Helena hendak bangun, namun tiba-tiba merasa badannya ditarik sehingga dia jatuh kembali ke tempat tidur. Dia terkejut saat bibirnya tersentuh oleh sesuatu yang kenyal. Marvin menarik pinggang Helena dan menciumnya dengan lembut.
Ciuman mereka menjadi semakin dalam. Marvin menjelajahi bibir Helena dengan penuh nafsu, menyesapnya dengan penuh gairah. Suara desahan mereka mulai terdengar saat bibir mereka beradu. Marvin memeluk Helena erat sambil menghisap lidahnya dengan penuh kehangatan.
Tepukan lembut di dadanya membuat Marvin melepaskan ciumannya. Dia menatap Helena dengan bibir yang sedikit membengkak dan basah, menyatakan, "Itulah yang aku sebut sebagai ciuman pagi, sayang."
Helena memukul lembut dada Marvin sebelum memeluknya. "Kita sudah banyak berciuman semalam Marvin!" ucapnya sambil memandang Marvin sinis. Marvin hanya tertawa dan memeluknya erat. "Bibirmu selalu manis, sayang."
Namun, suasana ceria itu terputus ketika Marvin tiba-tiba menanyakan tentang perasaan Helena terkait dengan adik ibunya yang telah meninggal. Pertanyaan itu membuat Helena mendongak, Helena menghela nafas berat, menampilkan ekspresi sedih saat Marvin tiba-tiba menyinggung tentang adik ibunya.
"Huh? Aku tidak tahu. Aku baru saja mulai merasakan kehadiran seorang ibu, dan aku mulai terbiasa dengan itu. Tapi ketika aku mendengar tentang fakta itu, rasanya... kecewa. Meskipun mungkin aku belum begitu lama mengenalnya," ujarnya dengan suara terdengar sedih.
Marvin mengerti, "Tidak apa-apa, sekarang kau memiliki aku di sini. Hidup dan matimu sekarang menjadi tanggung jawabku," katanya dengan lembut sambil mencium puncak kepala Helena.
"Marvin.." panggil Helena pelan saat keheningan melanda mereka. Marvin hanya berdehem sebagai jawaban. Merasa tidak ada ucapan yang Helena keluarkan lagi Marvin menolehkan kepalanya menatap Helena. "Ada apa?" Tanyanya. Namun bukannya mendapatkan jawaban justru tiba-tiba Helena mengeratkan pelukannya membuat Marvin terkejut.
"Hei, ada apa?" Marvin bertanya lagi, Helena mengangkat matanya, matanya berbinar-binar ketika dia menyelipkan sesuatu dari saku celananya. Lalu, dia mengambil tangan Marvin lembut dan menempatkan sesuatu yang kecil di telapak tangannya.
Marvin mengerutkan kening, penasaran dengan apa yang Helena berikan. Ketika Helena mengangkat tangannya, pandangannya tertuju pada testpack yang terselip di sana. Dengan hati-hati, dia melihat hasilnya, dan matanya membulat dalam keheranan saat dia menatap Helena dengan takjub.
"Itu adalah hadiah pernikahan kita," Helena berkata dengan senyum manis yang membuat hati Marvin meleleh. "Kita akan segera menjadi orang tua."
Tanpa kata-kata, Marvin langsung meraih Helena dalam pelukannya, bibirnya menemukan bibir Helena dalam ciuman yang penuh rasa syukur dan kebahagiaan.
Helena menepuk lembut dada Marvin, memberikan isyarat untuk meredakan ciuman tersebut. "Marvin, tunggu sebentar," ujarnya, bibirnya mengerucut dengan manis. Marvin tersenyum melihat ekspresi wajahnya yang lucu setelah ciuman tadi. Apakah sebenarnya Helena ingin dia cium kembali? Bibirnya sudah bengkak akibatnya namun entah kenapa Marvin tidak dapat berhenti. Marvin benar-benar sudah candu dengan benda pink manis dan kenyal itu, lebih memabukkan daripada alkohol yang biasa dia minum.
"Aku ingin menjalani ini bersamamu, merawat anak ini dengan penuh cinta. Aku tidak ingin dia merasakan apa yang kita rasakan selama ini," tambah Helena sambil melingkarkan tangannya di leher Marvin dan memainkan rambutnya dengan lembut.
Marvin, yang masih terpesona, bertanya dengan penuh penasaran, "Berapa lama dia telah berada dalam kandunganmu? Bagaimana aku bisa melewatinya tanpa menyadarinya?" Tangan Marvin dengan lembut menyusup ke dalam baju Helena, mengusap perut yang masih datar namun kini mengandung kehidupan.
Helena tersenyum, matanya berbinar bahagia. "Beberapa minggu sebelum pernikahan aku mengunjungi dokter karena tidak mendapatkan jadwal bulananku, dan dia mengatakan kita sudah melangkah delapan minggu," jawabnya. Kedua pasangan itu saling bertatapan, penuh kebahagiaan dan keterkejutan.
"Seharusnya kau memberitahuku sejak awal. Bagaimana jika terjadi sesuatu dengan kehamilanmu, Helena? Terutama setelah kejadian kemarin yang mungkin saja berdampak padamu," ujar Marvin sambil mengecup lembut perut Helena sebelum menatapnya dengan serius.
"Aku minta maaf, aku terlalu takut untuk mengatakannya saat itu," jawab Helena sambil memeluk erat Marvin, wajahnya tenggelam di leher Marvin, menikmati aroma maskulin yang memabukkan.
"Terima kasih, aku maafkan. Aku tidak akan membiarkan anak kita nanti merasakan apa yang kita alami. Terima kasih telah membuatku merasakan makna dari cinta," tambah Marvin, memeluk Helena dengan erat.
"Apakah kamu tidak merasakan gejala mual seperti yang biasanya dialami wanita hamil?" tanya Marvin sambil mengusap punggung Helena dengan lembut. Helena hanya menggelengkan kepala.
Marvin tersenyum lembut sambil mencium puncak kepala Helena berulang kali. "Jangan ragu memberi tahu aku jika kamu merasa tidak enak badan, ya," ucap Marvin dengan lembut. Rasa bahagia masih meliputi hatinya, dan tangan kirinya tetap menggenggam erat testpack, meremasnya perlahan. Marvin merasa beruntung memiliki Helena di sampingnya, dan dia bertekad untuk tidak lagi menyakiti hati wanita yang dicintainya ini.
TBC...Kayanya ini adegan kissing nya kebanyakan deh, maaf ya adik-adik soalnya tuan Marvin yang terhormat maunya kissing terusss
Ayo dong komen ramein, mau lanjut ngga nanti puasa? atau aku rest ajaniee?? Ceritaku udah lulus sensor juga sii ngga ada 21+ haha paling mentok yaaa.. kalian tau laa dari bab bab sebelumnya, jadi gimana gimana??
YOU ARE READING
(✓) MAFIA | markhyuck
Action┈┈ Marvin, kelahiran dari keluarga bangsawan Mafia di Italia, harus menghadapi situasi yang mendadak ketika berlian keluarganya, yang bernilai 3,2 juta Euro, dicuri oleh beberapa anak buahnya yang berkhianat. Marvin bertekad untuk melakukan segala y...