Bab 9

4.1K 400 18
                                    

"Selamat pagi Bapak," sapa Ais dengan senyuman malu-malu saat pagi itu ia mengetuk pintu ruangan Ares.

"Pagi Ais," balas Ares dengan lirikan singkat dari balik mejanya.

Ais masih tersenyum kecil saat membawa map berisi formulir pengajuan cuti para karyawan di tangannya. Perlahan ia menarik kursi, lalu duduk di hadapan Ares yang sedang fokus melihat layar ponsel. Ais melirik sekilas, ia melihat grup chat WhatsApp.

"Pak Marlo, nggak ke sini Pak?" Ais melempar pertanyaan basa-basi. Bibir yang baru saja dipulas lip balm sebanyak lima kali masih menyisakan senyuman. Ais hanya ingin menunjukkan bahwa ia sangat menghargai pemberian Ares meski kulit bibirnya terasa penuh saat ini.

"Nggak, kamaren beliau sama rombongan group head lainnya langsung balik ke Jakarta." Ares menatap wajah Ais, sekilas memperhatikan bibir yang tampak lembab meski masih terlihat pecah-pecah.

"Oh ya Pak, saya sekalian mau bilang makasih." Senyuman malu-malu Ais mengembang saat menyadari tatapan Ares tertuju pada bibirnya. "Makasih Pak buat vitamin C-nya." Senyuman Ais menjadi bertambah lebar ketika tanpa sebab yang jelas, kedua matanya menjadi berat menatap balik Ares yang menatap lurus wajahnya.

"Sama-sama. Itu.... nggak sakit?" Ujung telunjuk Ares menunjuk bibirnya sendiri.

"Enggak Pak,' jawab Ais apa adanya. Sakit dari mana? Ini cuma bibir pecah-pecah bukan diselingkuhi.

"Kamu kopekin gitu apa nggak sakit?" Sejenak Ares menyentuh pelan bibirnya saat menatap lurus wajah Ais.

"Oh... ya perih dikit Pak." Ais menjawab jujur rasa yang menurutnya tidak seberapa dan masih bisa ia toleransi.

"Buat saya itu sakit lho Ais." Ares mengerutkan dahi. "Kan jadi luka bibirnya?"

Ais mengerjap beberapa kali sebelum menjawab, "Iya Pak." Kemudian mengangguk kecil sambil menampakkan cengiran salah tingkah. Kenapa Ares sangat perhatian pada hal-hal kecil pada dirinya? Dulu saat masih bersuami, Galih tidak pernah sekali pun memperhatikan bibirnya yang pecah-pecah.

"I... ini form pengajuan cuti yang perlu ditandatangani Pak." Ais segera menyodorkan map di hadapannya dan membuat perhatian Ares teralihkan dari bibirnya.

"Oke. Habis gini masuk ke sistem saya langsung approve ya."

"Siap Pak."

Ais mulai memperhatikan Ares yang menandatangani satu demi satu form cuti di dalam map.

"Area Jember ini kok jarang ada pengajuan ya? Temen-temen audit kita di Jember nggak ada yang cuti?"

Ais tidak tahu harus menjawab apa mengingat ia tidak berkantor di Area Jember. Sebagai jawaban ia hanya menggumam kecil ketika tatapannya beradu dengan tatapan Ares.

"Mmmm..... "

"Tar, aku tanya ke Gilang deh...." Ares segera menyahut ponselnya dan membuat tatapan mereka terputus.

Ais kembali memperhatikan Ares yang sedang mengetik pesan dengan kedua siku bertumpu pada meja. Kedua matanya terpaku pada wajah Ares yang menunduk menatap ponsel. Hidung mancung itu, sangat indah jika dipandang dari sudut tempatnya duduk. Sebenarnya, dari sisi mana pun Ares tidak pernah gagal dipandang mata

Ini orang kapan jeleknya? Ais diam-diam membatin. Masa yang kayak gini homo? Kok nggak rela ya? Ais tanpa sadar memiringkan kepala saat kini mengamati tatanan rambut Ares yang tampak rapi. Seumur-umur ia bekerja di gedung perkantoran ini, belum pernah kedua matanya menemui yang semenarik Ares.

"Oh ya Ais, kita kan mau ada acara jambore..." Ares kembali meletakkan ponselnya. "Kan selama pendemi sempet ditiadakan jamborenya. Nah kemaren pas ngobrol sama Pak Marlo, bakal diadain lagi. Enaknya kita ke mana ya? Ada ide nggak?"

POINT OF VIEW [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang