Bab 59

4.8K 628 146
                                    

Senin pagi yang sedikit berbeda.

Ada degup tak jelas, meski alasan dari debar yang membawa gugup itu bersumber dari satu orang. Paginya tak sedamai kemarin, tatkala terselip malu juga canggung. Sejak Minggu pagi Ais sudah cemas membayangkan, akan seperti apa interaksinya dengan Ares hari ini?

Pertanda itu tampak semakin jelas. Ais bertahan tidak ingin terpancing. Akan tetapi, sikap Ares semakin menyatakan isyarat hati yang membuatnya kepikiran.

Mungkin nggak sih, dia bener-bener minta tolong cariin pacar? Ais menatap wajahnya di cermin toilet. Ia kembali menyapukan blush on tipis-tipis pada kedua pipinya. Sampai kapan ia betah bertahan pura-pura polos, berlagak tidak tahu maksud Ares? Tapi di antara 80% kemungkinan, Ais masih memikirkan 20% lainnya. Perkataan Nirvan yang menyuruhnya mengecek keadaan Ares saat sakit, kembali menggema jelas di telinganya.

"Ais... gini. Saya tahu kamu cuma sekretarisnya. Tapi di sini dia cuma punya kamu...."

Perkataan Nirvan tersebut, selaras dengan perkataan dari bibir Ares sendiri saat mereka berdua makan steak.

"Aku di sini sendiri Ais. Kalo makan sendiri kayak orang ilang. Kan aku nggak punya pacar."

Ais berdiri bimbang di ambang pintu hatinya. Ia harus hati-hati menilai pernyataan Ares yang bisa saja secara harfiah memang berarti yang sebenarnya. Jadi supaya lebih aman, Ais merasa ia tidak perlu terlalu serius menanggapi sikap Ares meski kehadiran lelaki itu telah meniupkan ruh pada bilik tersembunyi di hatinya yang ia anggap sudah mati.

Setelah Galih pergi, hatinya hanya terisi oleh ibunya, Kenan, dan Shakila. Ia adalah kekasih yang sudah mati dan sisi hatinya yang koyak tidak pernah berharap akan cinta laki-laki. Baginya, cinta laki-laki sepenuhnya omong kosong. Selama ini hanya ibunya, Kenan, dan Shakila yang membuat hatinya tetap hangat. Mereka bertiga adalah penggerak yang menjelma denyut kehidupannya. Demi menutup kecewa, Ais menyerah akan kebutuhannya untuk dicintai oleh laki-laki.

Ais sudah merasa bisa menerima takdirnya. Cukup satu kali ia disakiti, sisanya Ais hanya ingin melindungi dirinya sendiri. Bagi perempuan sepertinya, cinta agung laki-laki terlalu muluk-muluk. Ia lebih percaya tidak diminati oleh-oleh laki-laki daripada diminati oleh laki-laki seperti Ares.

Ares, terasa tidak nyata bagi kehidupannya yang serba biasa-biasa saja.

Oleh sebab itu, Ais memutuskan tidak menaruh harapan apa pun. Terserah jika Ares ingin mengenalnya di luar jam kerja. Ais memilih mempercayai perkataan Ares sesuai dengan apa yang ia dengar. Ia tidak ingin salah mengartikan, sehingga membuat hatinya salah mengira.

Ais menatap sekali lagi penampilannya di depan cermin toilet, sebelum membereskan perlengkapan make-up dan kembali ke mejanya. Kakinya mengayun pasti sebelum melambat sedikit ketika melihat Ares sudah berdiri di depan mejanya.

"Pagi Ais," sapa Ares dengan senyuman ringan.

"Pagi Pak," Ais membalas dengan senyuman serupa. Ia kembali mengingat saat Ares pamit pulang di jam setengah sembilan malam. Ia berniat mengantar Ares sampai ujung gang, tetapi Ares melarangnya.

"Itu jilbab dari aku?" Kedua mata Ares mengamati jilbab Ais yang tampak rapi.

"Bukan Pak..... yang dari Bapak, saya simpen." Ais tidak tahu mengapa Ares tiba-tiba menanyakan perihal jilbab pemberian lelaki itu.

"Pake dong...."

"I.... iya Pak besok," jawab Ais dengan sedikit salah tingkah dan menemukan kedua mata Ares yang menatap lurus wajahnya.

"Ayo briefing." Ares memberi isyarat dengan gerakan kepala dan memasukkan sebelah tangan ke dalam saku sebelum berjalan mendekati meja Brili, yang berada di deretan paling depan. Sementara Ais menyahut buku notulen sebelum menyeret kursinya. Sodiq ikut menyeret kursi dan memilih duduk di sebelah Ais.

POINT OF VIEW [End]Where stories live. Discover now