Bab 47

4.8K 586 297
                                    

"Saya harap, setelah ini tidak ada lagi yang menganggap wajar bercandaan yang kelewatan. Semua orang di gedung ini berhak merasa aman juga nyaman. Coba bapak-bapak sekalian bayangin, kalau misal istrinya atau anak perempuannya yang digituin sama laki-laki lain, gimana?"

Pagi itu mereka semua mendengarkan arahan dari Nirvan Nadipati yang berdiri di depan sana dan berbicara di balik microphone. Tadi surat edaran sudah dibacakan oleh Felly, sekretaris Nirvan Nadipati. Kemudian pada layar proyeksi ditampilkan Do's and Don't tata cara bergaul di kantor.

Mereka semua duduk di kursi-kursi yang sudah disediakan. Jam tujuh pagi, briefing sudah dimulai. Saking pentingnya briefing ini, setiap staf wajib mengisi absensi kehadiran yang sudah disediakan pada meja-meja di depan pintu masuk.

"Tolong bercandaan yang kelewatan itu jangan dibiasakan ya? Jangan dinormalisasi. Ingat kita ini juga insan BUMN. Ada citra baik yang harus kita terapkan, kita jaga, dan kita junjung. Jangan sampai bercandaan seperti itu dianggap biasa. Bukan cuma di sini, tapi juga di mana pun kita berada. Jangan sampai orang-orang di luar sana berpendapat, ih ternyata staf Bank Nasional mesum ya?" Nirvan melanjutkan arahannya.

"Nah untuk meminimalisir hal-hal kayak kemarin, saya sama Pak Ares, juga Pak Rendra, udah sepakat membentuk tim yang akan menampung pengaduan terkait hal-hal yang sifatnya pelecehan seperti kemarin. Tim ini langsung di bawah pantauan human capital dan departemen risk. Besok akan kita share pada setiap karyawan, kontak-kontak pengaduan yang bisa dihubungi jika mengalami pelecehan di tempat kerja."

Hari ini hanya Nirvan Nadipati yang memberikan arahan. Sebelumnya, Nirvan juga sudah menceritakan kronologis kejadian kemarin dengan menyamarkan identitas pelaku dan korban, meski sepertinya sebagian orang di sini sudah tahu siapa-siapa saja para pelaku yang Ais tidak tahu apakah mereka masih punya muka untuk datang ke kantor.

Nirvan bercerita bahwa keempat pelaku melempar candaan yang tidak pantas kepada dua staf wanita yang sedang mengantre di depan mesin absensi. Meski begitu, Nirvan tidak menceritakan secara jelas detail kejadiannya dan lebih menekankan kepada mereka semua agar tidak kelewatan dalam bercanda.

Ais yang duduk di deretan tengah, sempat mendengar bisik-bisik staf yang bingung di belakang punggungnya. Mereka sepertinya tidak menyadari jika ia duduk di deretan ini karena mayoritas rekan-rekan satu departemennya duduk di deretan pada sayap kanan. Hanya ia yang duduk di sayap kiri karena sempat mampir ke toilet dan ketika ia masuk, ia tidak mendapatkan kursi di sayap kanan.

"Lho? Dua? Bukannya yang digoda itu cuma Dona? Yang aku denger satunya itu saksi..."

"Iya tapi waktu itu katanya ada dua staf. Ya mungkin Pak Ares ngelaporinnya sesuai keadaan kalo ada dua staf perempuan waktu itu. Kurang tahu juga, tapi yang jelas ada Dona."

"Yang digoda itu Dona, yang satunya saksi," bisikan lain menegaskan. "Dona sendiri yang cerita. Mungkin Pak Ares ngelaporinnya dua, soalnya mereka pas itu berdua. Tapi sebenernya yang satu ini saksi. Penyebab Pak Ares marah ya soalnya Dona digoda..."

"Yang aku denger dari Felly...." Staf lain turut menimpali. "Waktu ngadep Pak Nirvan, Pak Ares nggak melibatkan korban. Takutnya korban ngerasa malu. Jadi Pak Nirvan cuma manggil pelaku dan percaya sama laporan Pak Ares. Soalnya yang digoda kebetulan anak buahnya Pak Ares."

"Iya sih, Dona cerita dia shock banget. Eh tapi bener, dia calon istrinya Pak Ares?"

"Nah itu yang bikin kasus ini makin jadi hot topic. Nggak tahu juga sih. Tapi yang aku denger dari temen aku, di departemen risk, julukan Dona itu Calon Istri Ares. Kalo nggak ada something, kenapa julukannya gitu?"

POINT OF VIEW [End]Where stories live. Discover now