Bab 11

3.7K 420 62
                                    

"Aku pingin buka usaha apa gitu.... "

Ares sedang kelelahan menatap langit-langit kamar ketika ujung telunjuk Kirana bermain-main di atas dadanya yang berkeringat.

"Apa?" Ares segera mengalihkan tatapannya pada wajah kelewat cantik yang tampak sedang berpikir.

"Mmm aku pingin butik sih...."

"Butik?" Ares kembali menatap langit-langit kamar. "Di mana?

"Di sini aja."

Seketika Ares mengernyitkan dahi. "Kenapa di sini? Kenapa nggak di Jakarta aja?"

"Kayaknya aku betah di sini. Aku pingin menetap deh di Surabaya."

"Kenapa?" Ares menatap heran.

"Aku suka di sini."

"Jadi kamu... nggak pingin balik ke Jakarta?"

"Aku pingin menjauh dari ortu aku.... mereka toxic. Mendingan aku di sini dan mulai hidup di sini. Aku pingin buka usaha, buat bekal resign. Aku pikir usaha butik oke juga."

"Kenapa kepikiran resign? Bukannya kamu suka kerja?" Tatapan Ares menyusuri wajah dan pundak Kirana. Mereka masih berada di bawah selimut yang sama setelah pergumulan barusan. Sejak makan malam tadi mereka hanya membicarakan hal-hal biasa. Ares sedikit terkejut ketika Kirana tiba-tiba mengutarakan wacana resign.

"Aku udah males kalo dipindah lagi. Kamu tahu kan posisi manajer di perusahaan aku itu cepet banget mutasinya? Aku denger, di luar Jawa lagu butuh banyak posisi setingkat manajer. Ya aku khawatir aja, gimana kalo aku dipindah jauh sampe ke luar Jawa?"

"Emang udah ada selentingan kalo kamu bakal dipindah lagi?"

"Enggak sih. Tapi makin lama aku juga ngerasa tekanan kerja aku makin berat gitu. Jadi aku mulai mikir buat buka usaha sampingan."

"Nikah sama aku." Ares menatap lurus kedua mata Kirana.

"Ares.... " Senyuman Kirana tertahan di sudut bibir. "Nggak semua masalah itu solusinya nikah.... "

"Kenapa nggak? Kamu udah nggak kuat sama kerjaan kamu, pingin hidup yang nyaman. Aku bisa kasih itu semua. Kenapa kita nggak nikah Kirana? Aku bukan papa kamu, aku udah buktiin itu sepuluh tahun..... "

"Nikah and what? Aku jadi perempuan yang ngerjain kerjaan rumah tangga gitu? Cuma itu? Atau aku cuma jadi pelengkap kehidupan kamu?"

"Aku nggak bilang gitu." Ares menggeleng. "Aku bakal dukung kamu jadi apa aja yang kamu mau."

"Bullshit. Laki-laki di mana-mana sama. Kalo aku nikah sama kamu, kamu cuma mau aku layani. Prioritas aku bakalan...."

Ares memperhatikan gerak bibir Kirana yang seketika terhenti, bagai menyadari sesuatu.

".....aku?" sambung Ares.

Hening seketika.

"Jadi kamu nggak mau prioritasin aku? Terus.... kamu pikir aku pindah ke sini demi apa?"

"Ares, aku belum siap... "

"Oke. Sukses buat usaha kamu." Ares menyingkirkan selimut yang menutupi tubuhnya dan bergegas menuruni ranjang.

"Ares.... "

Kirana menatapnya yang berjalan menuju toilet. Ares memasang tampang acuh dan menutup pintu. Melepas kondom yang masih terpasang dan membersihkan dirinya di bawah pancuran air shower.

Fuck. Ia mengumpat di dalam hati. Bersama Kirana, topik pernikahan tidak pernah menemukan ujungnya. Ares tidak tahu, mengapa mereka tetap bertahan. Lebih tepatnya, mengapa ia memilih tetap bertahan. Ia pikir bercinta sebelum pulang ke rumah dinas bisa membuat tubuhnya lebih ringan. Nyatanya, malah semakin menambah beban pikiran. Seketika batinnya lelah. Jadi untuk apa ia berjuang sejauh ini?

POINT OF VIEW [End]Where stories live. Discover now