Prolog

170 16 1
                                    

Hembusan angin sepoi-sepoi menyapa pelataran belakang sekolah, tempat yang terabaikan oleh kebanyakan siswa. Di belakang pagar sekolah, tempat yang tersembunyi dari pandangan guru dan murid lainnya, terdengar suara tawa keji yang menggema di sekitar dinding beton. Liana, gadis culun dengan rambut hitam yang kusut, berdiri sendirian di tengah-tengah geng Gina, gadis paling nakal di sekolah.

"Gadis culun, kau pikir kau bisa lolos dari kami?" Gina berseru sambil menarik rambut Liana dengan kasar, memaksanya untuk bersujud di tanah kering. Liana menangis, tangisannya tercampur dengan kata-kata keji yang dilemparkan oleh Gina dan gengnya.

"Kau tak pantas sekolah di sini, Liana. Kau hanya sampah jalang!" Gina menghina sambil menyeret Liana ke tempat yang lebih sepi, di mana tatapan matahari pun tak berani menyentuh.

"Apakah wajah jalang ini turunan dari orang tuamu?! Ups lupa, kamu kan nggak punya ayah! Mungkin ayahmu mati karena tidak tahan mempunyai anak jalang sepertimu! Apakah ibumu juga sepertimu? Oh, mungkin saja dulu dia juga bekerja menjadi pelacur! Ucap Gina disusul dengan tawa gengnya yang menggema.

Liana yang mendengar cemooh itu, hatinya sakit seperti tersayat. Matanya mulai memerah, ia pun menarik kerah Gina lalu mencengkramnya kuat-kuat.

"Tarik ucapanmu! Ayah dan ibuku bukan orang seperti itu! Mulut busukmu itu sebaiknya diam!"

"Heyy, beraninya kamu berteriak padaku! Dasar jalang!" Tangan Liana ditepis dengan kasar.

Gina semakin marah karena Liana yang menarik bajunya ia menjambak  menendang memababi buta Liana sampai terkulas lemas di tanah

Liana merasakan setiap tendangan dan pukulan menyakitkan yang dilancarkan oleh Gina dan gengnya. Dia merasa seperti binatang yang ditendang-tendang, tak berdaya di hadapan kekejaman mereka. Setiap serangannya menyisakan luka lebam yang menghiasi tubuh Liana, menjadi saksi bisu dari penderitaannya.

"Makanya lain kali nggak usah belagu mau ngelawan kita. Lo itu cuma sampah sekali sampah bakal jadi sampah selamanya!.

Setelah puas membabi buat Liana Gina dan gengnya pergi, meninggalkan Liana yang tergeletak lemas di tanah, Liana hanya bisa menangis dalam kesedihan yang tak terucapkan. Dia merasa seperti hancur oleh kekejaman mereka, kehilangan segala harapan dan kekuatan untuk melawan.

"Selamat tinggal, jalang. Sampai jumpa besok!" ujar Gina dengan nada mengejek sebelum pergi, meninggalkan Liana yang terhempas dalam kegelapan dengan keadaan lebam di mana-mana.

Liana terduduk sendirian, memeluk tubuhnya yang remuk, di tengah reruntuhan hatinya yang hancur berkeping-keping. Pikiran untuk mengakhiri semuanya menyelinap perlahan ke dalam benaknya.

Liana pun pulang dengan langkah tertatih, tubuhnya terasa hancur oleh kekejaman yang ia alami di belakang sekolah. Ibunya, yang sedang duduk di teras, segera berdiri begitu melihat kondisi Liana.

"Liana, kamu kenapa? Apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini padamu?" Ibunya panik, tangisannya pecah seiring dengan melihat keadaan anaknya yang terluka.

Ketika ia bertemu Ibunya di depan rumah, tangisnya pecah sebagai tanggapan atas pertanyaan Ibunya yang penuh kekhawatiran. Liana menangis sejadi-jadinya, kepedihan dan rasa tidak berdaya melanda dirinya.

"Mama, aku tidak tahan lagi. Mereka selalu menyakitiku, setiap hari. Aku seperti tidak ada artinya lagi," ucapnya terputus-putus di antara isakan tangisnya.

Melihat kondisi anaknya yang terluka dan hancur, ibunya tidak bisa menyembunyikan kepanikannya. Liana, yang selama ini memendam penderitaannya sendiri, akhirnya menumpahkan semuanya kepada ibunya. Dalam pelukan ibunya, Liana menangis dan mengungkapkan betapa dia merasa tak berdaya dan ingin mati karena perlakuan mereka yang kejam.

Dengan hati yang penuh duka, ibu dan anak sama-sama menangis. Ibunya memeluknya erat, mencoba menenangkan anaknya yang hancur. Dalam pelukan itu, Liana merasa sedikit lega, meskipun duka yang menyesakkan masih belum hilang dari hatinya. 

"Kita akan selesaikan ini, sayang. Kamu tidak sendiri. Mama akan melindungimu," bisik Ibunya dengan penuh ketulusan, berjanji untuk menghapus air mata dan menuntun Liana melewati masa masa sulit yang di alaminya. "Sebaiknya kamu pindah sekolah dan memulai hari-hari yang baru."

****

Sementara itu pada saat yang sama, di tengah kerumunan yang berduka, seorang pria tampan dengan mata sembab dan rambut hitam berkilau berdiri tegak. Dia adalah Leonsky Wijaya, yang akrab dipanggil Leon. Anak dari Dirgantara Wijaya, seorang yang cukup berpengaruh dengan kekayaan yang tak tertandingi.

 Mereka semua berkumpul di pemakaman, menangis saat melihat seorang wanita cantik dikebumikan. Wanita yang tak lain adalah ibu Leon yang meninggal karena kanker. Leon diam dan tak bisa berkata-kata. Dengan mata sembab, ia memandang ibunya yang perlahan ditimbun tanah, menyaksikan kepergiannya dengan keheningan yang menyayat hati.

Ayahnya mencoba menghibur Leon, namun kata-kata itu terasa hambar di tengah kehilangan yang begitu besar.

"Maafkan Aku tak bisa menyembuhkan ibumu, Leon. Maafkan aku, nak," ucap sang ayah sambil memeluk Leon.

Leon menangis mendengarnya, lalu berlari tanpa arah yang jelas, hanya ingin menjauh dari kenyataan yang menyakitkan.

"Biarkan dia, mungkin masih terpukul," Ujar Pandu, yang merupakan paman Leon kepada ayahnya.

Leon pun berlari meninggalkan semua orang  menuju sebuah taman. Leon ingin sendiri. Mengungkapkan kesedihannya dengan bebas, tanpa ada yang melihatnya. Benar kata orang, kehilangan ibu sama dengan kehilangan separuh jiwamu sendiri. Rasa sakitnya tidak akan bisa diungkapkan dengan kata-kata.

******

Lanjut Nggak?

Cold Guardian (On Going)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora