Indahnya Persahabatan

15 1 0
                                    

“ Beberapa waktu yang lalu aku merasakan kesedihan karena kehilangan seorang sahabat hati aku. Rasanya sebagian warna-warna ceria seperti pelangi di hatiku memudar ketika itu padahal sebelumnya ia begitu menyemangati hari-hariku. Setelah kepergiannya semua terasa sepi, dan ketika tirai malam mulai dibentangkan kulihat rembulan di kejauhan dengan cahayanya yang menerangi kelamnya malam ini. Seolah dia tersenyum padaku sementara aku berbisik dalam hati “Adakah kau tau rembulan kemana perginya sahabat hati aku?” sunyi … tiada jawaban kutemui.

Keesokan harinya ketika mentari pagi muncul menggantikan sang rembulan malam, aku kembali mengharap jawab atas tanyaku pada mentari “Mungkinkah kau tau mentari dimana keberadaan sahabat hati aku? Namun tak jua kudapati jawabannya.

Hari berganti Minggu, Minggu berganti bulan dan bulan berganti bulan berikutnya namun sahabat hati aku tak pernah kembali. Aku coba menanti namun aku lelah karena aku tau dia tak mungkin kembali. Mencoba melupakan … atau berpura-pura lupa sudah kulakukan namun rindu enggan berlalu. Ada ataupun tiada sahabat hati aku berada di dekatku rindu padanya tak pernah menjauh dariku.

Aku menulis sebuah curahan hati yang kutulis dengan pena bertinta emas yang berisi tentang rasa yang bercampur menjadi segenggam rindu yang ku kirim dan kutitipkan melalui angin malam yang selalu setia mengantar setiap cerita yang kutulis namun tak satu pun kabar yang kuterima sebagai balasan. Tak terhitung sudah berapa lembar kertas yang kutulis dan tak terhitung pula hari yang kulalui tanpa balasan kabar darinya, mungkin karena aku tak tau dimana dia berada hingga cerita yang kukirimkan padanya tak pernah sampai. Aku merasa sedih dan lelah berharap namun rindu tak mampu di halau kehadirannya. Bertahan di kota ini membuatku merasa sulit melupakan kenangan, sulit melangkah dengan beban kerinduan yang senantiasa mengusikku … pada sahabat hati aku bersama tanya yang ku simpan untuknya “Dimana dia berada?”

Sama seperti sahabat baikku ini …

“Kak kita daftar kuliah yuk!” Ajak Ary saat kami baru keluar dari ruang kerja. Aku memandang Ary sambil membuka seragam kerja dan memasukkannya ke loker. Berjalan menuju mesin pass card dan kemudian menuruni anak tangga keluar. Ary menarik tanganku supaya aku mendengarkan ceritanya dulu. Di pos security aku berhenti sambil melihat deretan paket pos yang terlihat di meja security. Ada paket untukku nggak ya?

Aku menoleh ke arah Ary yang masih berdiri menungguku sambil sesekali merapikan jilbabnya dengan wajahnya yang mengharap menunggu jawabanku.

“Kita ceritanya di pujasera aja ya.” Ajakku sembari berjalan menuju deretan Abang ojek yang mangkal di luar pagar minta diantar ke pujasera.

Empat menit sampai … tidak terlalu jauh tapi lagi mager alias malas gerak. Pujaseranya lumayan banyak pengunjungnya setelah pilih tempat duduk kami memesan makanan sesuai selera masing-masing.

“Kak, kita daftar kuliah ya.” Sekali lagi Ary membujukku sambil menunggu pesanan kami datang.

“Ry, bukannya kak Lie tidak mau kuliah. Kuliah itu butuh uang yang banyak untuk bayar SPP, uang buku, biaya ongkos dan lain-lain kakak tidak mau menyusahkan orang tua dan lagian kita sudah kerja, gimana ngatur waktunya. Kita Khan kerjanya masuk shif, satu Minggu pagi, satu Minggu sore dan satu Minggu masuk malam.” Aku berusaha menjelaskan alasanku yang keberatan untuk ikut daftar kuliah tahun ini. Aku merasa ragu untuk memulai kuliah walaupun kalau soal biaya aku bisa minta pada orang tuaku tapi aku tak ingin menambah beban mereka.

“Ya udahlah, kak Lie pikirkan aja selama satu Minggu ini sebelum pendaftaran ditutup. Oke?’ Ary tersenyum ketika makanan pesanan kami datang. Ary memesan sepiring siomay lengkap dan aku memesan semangkuk soto yang panas dan terlihat enak serta segelas es teh manis dingin! Ehmm … jadi lapar nih!

Keesokan malamnya, pukul 02.30 WIB. Saat masuk malam, biasanya jam segini adalah jam-jam mengantuk yang susah diajak kompromi. Ku hidupkan musik kecil dikantong baju seragamku tapi itu tidak berpengaruh. Tetap saja aku melihat meja di dekatku seperti tempat tidur sementara mataku sudah lima Watt.

CERPEN KUWhere stories live. Discover now