Berbeda Tapi Kita Akur

9 1 0
                                    

"Medan! Medan! Mana Kak? Medan Kak?" Tanya beberapa agen mobil travel dan bus di pintu keluar pelabuhan.

Aku menyebut nama PO bus yang sudah menjadi langganan ku setiap mudik daripada diserbu dengan pertanyaan yang sama.

Seorang sopir mobil layanan servis PO bus itu membantu mengangkat tas ku yang lumayan berat kedalam mobil yang sudah terparkir di luar pintu masuk pelabuhan.

Aku menyeka keringat di keningku. Lumayan panas cuacanya dan rasa haus cukup menggoda imanku yang sedang berpuasa.

"Kalau batalin puasa dibolehkan juga karena aku kan musafir, mana cuacanya terik banget!" Bisikku dalam hati menenangkan galaunya hati aku pilih tetap puasa atau batalkan puasa.

Tapi ....

"Haus dan laparku hari ini belum ada apa-apanya dibanding dengan kesabaran saudara muslim di sana, di Palestina ... " kembali hatiku memotivasi agar aku tetap berpuasa.

Aku terdiam dalam rasa kelu yang tidak bisa kugambarkan dengan kata-kata saat aku melihat kondisi anak-anak, wanita dan lansia saat sebuah stasiun televisi menayangkan beritanya di Chanel youtube.

Lapar dan hausku akan hilang setelah adzan Maghrib tapi tidak dengan mereka tetap haus dan kelaparan!"

Perhatian!

Diberitahukan kepada penumpang tujuan Medan dengan Jam keberangkatan pukul 18.00 WIB diharap segera naik ke dalam bus karena sebentar lagi bus akan diberangkatkan.

Aku membaca jadwal keberangkatanku di tiket bus yang tadi sudah kubeli. Ini saatnya aku naik kedalam bus. Untung saja suara toa nya jelas coba kalau suaranya cempreng pasti aku akan ketinggalan bus!

Kursi nomor sepuluh ...

Aku berjalan menaiki bus sambil mataku melirik angka yang tertera di atas tempat duduk mencari angka sepuluh.

Yess! Tempat duduk favoritku! Sebelah jendela! Kulihat sebelahnya juga masih kosong.

"Ini kursi nomor sembilan ya?" Seorang laki-laki bertanya ketika aku baru saja duduk manis di kursi nomor sepuluh. Aku mengangguk kemudian dia menaruh tas bawaannya ke bawah tempat duduk nomor sembilan yakni kursi di sebelahku.

Tak berapa lama seorang ibu yang berusia sekitar tujuh puluh lima tahun naik ke atas bus dan duduk di kursi nomor sembilan. Hmm! Jadi ingat ibuku di rumah ...

"Mau kemana nak?" Sapanya dengan ramah saat bus sudah berjalan.

"Medan Bu. Ibu mau ke mana?" Ujarku balik bertanya.

"Mau ke Medan juga. Mau lebaran di sana!" Jawabnya semangat mengawali pembicaraan kami.

Tak berapa lama kemudian ...

"Oh! Ya sepertinya sudah waktunya buka puasa. Ini ada nasi dan kue. Tadi ibu sengaja bawa dari rumah." Ibu itu kembali mengajakku berbicara dan kali ini dia juga menawariku makanan yang dia bawa.

"Ini ada rendang, masakan khas daerah ibu, makanlah!" Ibu itu menyodorkan satu tempat makanan berisi rendang. Walau dia tak mengatakan daerah asalnya tapi dari jenis masakan yang ditawarkannya aku bisa menebak asal kotanya.

"Makasih Bu, saya cicip kuenya saja." Ujarku.

"Sudah jangan malu-malu! Makan saja, ibu masak tidak terlalu pedas!" Bujuknya lagi dengan logat khas padangnya.

"Ibu baik sekali." Pujiku pada ibu itu yang begitu ramah. Beberapa penumpang lain juga terlihat asyik bercerita dengan teman sebelahnya hingga perjalanan yang kadang membosankan menjadi menyenangkan.

Setelah mencicip kuenya dan bercerita lama aku pun melirik jam ditanganku yang menunjukkan angka sembilan malam itu artinya masih lama waktu perjalanan ke Medan. Aku menarik selimut hingga dinginnya berkurang.

Rencananya mau langsung tidur tapi ibu tadi kembali mengajakku bercerita.

"Kemarin pas pemilihan presiden pilih siapa nak?"

"Hah? Aku terdiam sedikit kaget dengan pertanyaan ibu itu menyerempet masalah politik kemarin.

Duh! Jawab apa ya? Aku jadi bingung sendiri jawabnya. Masalah politik sangat sensi apalagi di dalam bus ini pasti semuanya tidak satu pilihan calon presidennya, mungkin dua atau ada tiga pilihan! Teringat berita di televisi dan media sosial lainnya tentang euforia pilpres ada yang happy ketika capresnya menang, sebaliknya emosional dan sedih bagi pendukung yang capres pilihannya tidak menang.

"Ehm ... Karena saya baru pindah jadi saya tidak bisa memilih di tempat yang baru Bu." Jawabku diplomatis dan cari aman saja.

"Oohh! Tapi seandainya bisa memilih, pilih siapa nak?" Lagi-lagi pertanyaan ibu itu seperti menodongku hingga aku tak bisa berkutik! Aku sudah tahu pasti siapa capres yang didukung ibu ini dan tentu saja pilihannya berbeda dengan pilihanku!"

DUH! IBUUU ...

Cocoknya ibu ini jadi wartawan deh! Aku mencoba melirik ke jendela yang sudah semakin gelap.

'Kalau bisa memilih saya tetap akan pilih .... " Jawabku sedikit ragu takut kalau tiba-tiba langsung muncul komen dari jawabanku barusan.

"Kenapa pilih .... ?"

Ya ampun! Ibu ... pertanyaannya bikin aku senyum sendiri buat serba salah mau jawabnya gimana ...

"Karena saya sudah dua kali pilih .... dua kali kalah dan tetap saya pilih ketiga kalinya capres pilihan saya. Saya nggak bisa move on Bu." Jawabku sekenanya sambil mencoba bercanda agar tidak tegang.

"Ohh! Kalau ibu pilih .... tempat ibu semua pilih dia. " Kata ibu itu bersemangat.

"Oh! Iya! Iya Bu!" Aku mengiyakan jawabannya dan memahami persepsi ibu itu tentang capres pilihannya yang sudah pasti terbaik menurutnya.

Aku yakin beberapa penumpang lain pasti Ikut mendengar obrolan kami. Terutama bagian depan sama belakang kursi tempat duduk kami.

Namun kekhawatiranku tidak terbukti kami tetap terlihat asyik ngobrol tak terpengaruh dengan capres pilihan kami yang berbeda. Tepat jam setengah sepuluh malam aku memejamkan mata dan tidur dengan nyenyaknya!

Jam tiga malam lebih sepuluh menit aku terjaga dari mimpi indahku ...

'Gimana sudah beli baju lebaran nak?"

"Belum Bu." Pertanyaan nya persis seperti seorang ibu yang sedang bertanya sama anaknya.

"Ini ibu ada nomor telepon penjual tangan Pertama baju muslim grosir Tanah Abang. Banyak motif dan bahannya juga bagus." Topik obrolan beralih ke baju lebaran dan dengan senang hati ini itu memberikan nomor telepon penjual bajunya.

Obrolan terhenti saat bus memasuki halaman sebuah rumah makan Padang.. Semua penumpang turun untuk makan sahur.

Kami berdiri antri mengambil nasi dan lauknya kemudian duduk di meja yang sama berbarengan dengan seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun. Kami berbincang ringan bertiga dan terlihat akrab.

"Ini uangnya untuk tiga orang ya." Laki-laki itu menyerahkan uang seratus ribu pada pelayan rumah makan ini saat bus membunyikan klakson tanda bus akan melanjutkan perjalanan. Ternyata laki-laki tadi membayar makan untuk tiga orang termasuk aku dan ibu di sebelahku.

"Wah! Terima kasih ya kami dapat makan gratis malam ini." Jawab kami berdua dengan senang hati

Mungkin dia ikut senang melihat kami berdua yang walaupun berbeda pilihan capres tapi tetap akur dan santai dalam menyikapi perbedaan.

"Ayo! Naik ke bus lagi!' ajak laki-laki itu sambil merapikan jaket yang dikenakannya. Sepintas kami melihat gambar kaos yang dikenakannya bertuliskan nama Paslon capres dan cawapres yang berbeda dengan pilihanku dan pilihan ibu di sebelahku!

"Dia juga beda!" Bisik ibu itu padaku.

"Iya! Berbeda tapi kita tetap akur!" Sambungku sambil tersenyum.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: 2 days ago ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

CERPEN KUWhere stories live. Discover now