01. Seungcheol

182 42 131
                                    

Setelah makan malam yang ditutup dengan penyambutan calon istri dari si pemimpin, semua orang kini sudah kembali menuju kamarnya masing-masing. Tapi, tidak untuk salah satu pasangan yang kini tengah bergulat dengan pikirannya masing-masing.

“Kali ini, ada apa denganmu?” tanya sang wanita dengan suara bergetar. Ia menahan untuk tidak meneteskan likuid bening yang sangat berharga itu.

Sang pria hanya menatapnya dengan malas, lalu kembali memainkan ponselnya.

“B—bagaimana kau bisa melakukan itu, padaku?” tanyanya. “Kau kekasihku, tapi k-kau... kau mengumumkan bahwa memiliki calon istri yang tak lain adalah pegawai barumu?”

“Aku tidak memiliki keberanian untuk menolak ucapan dari Ayah. Aku mohon mengertilah, Arin.”

“Tapi seti—setidaknya kamu memberitahuku! Apa kau tahu, bagaimana hancurnya hatiku? Aku seperti orang bodoh, Bastian!” teriaknya tak terkendali.

“Bukan kah akan sama saja akhirnya? Meskipun aku berbicara padamu, bahwa aku akan dijodohkan dan memiliki calon tunangan?” tanya Bastian.

Arin menggeleng lemah, ia memijit pangkal hidungnya sendiri. “Aku lelah, Bastian. Setidaknya, jika kau berbicara terlebih dahulu, mungkin aku akan menghindari acara seperti ini. Lebih baik aku tidak ikut dan diam di rumah, daripada harus mendengarkan ucapan kekasihku sendiri, yang membuat hatiku sakit.”

“Oke, aku minta maaf. Seharusnya aku berdiskusi terlebih dahulu padamu, t—“

“Berhentilah berbicara omong kosong, Bastian!” teriak Arin.

“Tolong kendalikan dirimu, Arin!” bentak Bastian, tak kalah menggema.

Gadis itu mendelik, “Kendalikan diriku? Sedangkan kau sendiri, kau tidak bisa mengendalikan ucapanmu, Bastian! Setidaknya tolong hargai perasaanku! B-bagaimana bisa k—“

“Aku sudah minta maaf, Arin. Itu semua karena Ayah yang meminta, aku tidak bisa menolak.”

“Berhenti untuk berdalih, Bastian! Tolong katakan saja, bahwa kau memang sudah bosan denganku...”

Air matanya sudah tidak bisa ia bendung lagi, ini terlalu sakit untuknya. Mengapa laki-laki yang sangat dia cintai, begitu jahat?

“A—aku tidak bosan denganmu, Arin. Dengarkan penjelasanku terlebih dahulu, lalu setelah itu... terserahmu,” ucapnya.

Gadis itu melipat kedua tangannya di depan dada. “Bicaralah.”

Bastian menghela napas panjang, sebelum menceritakan semuanya. Apa yang terjadi padanya selama ini.

“Tapi pertama-tama, aku mohon... aku mohon, untuk kau tidak emosi ketika mendengar ceritaku, ya?” pintanya dengan suara lembut.

Arin menggeleng pelan, dadanya sesak. “Terserahmu saja, aku lelah, Bas. Aku hanya ingin pulang, untuk menjernihkan pikiranku sendiri.”

“Aku berjanji, setelah menjelaskan ini, kamu bisa pulang. Aku akan mengantarmu.”

“Dan kau akan mengunjungi calon tunanganmu itu?” tanyanya dengan senyuman remeh.

“Arin, aku mohon, berhentilah.”

“I—ini terlalu menyakitkan untukku, Bas. Lalu, kenapa hanya aku yang tersakiti di sini?”

“Maka dari itu, dengarkan penjelasanku dulu.”

“Lakukanlah, Bas.”

Terjadi jeda panjang, membuat Arin menggigit bibir bawahnya. Ia takut, sesuatu yang tidak ia inginkan, akan terjadi.

“Aku tidak bisa menolak tawaran dari Ayah, karena sebenarnya Vallea adalah anak dari salah satu sahabatnya. Dan mereka sudah berjanji, kelak akan menikahkan anak mereka, jika kita berbeda jenis kelamin. Dan ini akhirnya,” Bastian menatap Arin dengan tatapan sendu.

Arin mendesah pasrah, ia sudah tidak bisa berkata-kata. “Tapi Ayahmu tahu, bahwa kau sudah memilikiku, Bastian.”

“Iya, dia tahu dan dia paham apa yang sedang aku rasakan, kita rasakan saat ini. Tapi dia sudah terlanjur membuat janji dengan sahabatnya tersebut,” jelas Bastian.

Arin tersenyum miring. “Sungguh, itu adalah perjanjian bodoh yang pernah aku dengar.
Berhentilah berbicara omong kosong!”

“Aku berbicara jujur, Arin. Sama sekali tidak melebih-lebihkan atau mengurangi kalimatnya sedikit pun.”

“Masih adakah perjanjian seperti itu, di zaman yang sudah canggih ini? Sungguh, orang tua kalian sangat norak!”

“Aku pun sama, Arin. Aku kecewa terhadap apa yang sudah Ayah janjikan. Aku tidak bisa berbuat apa pun, aku harus bagaimana?”

“Terserahmu saja, Bas. Pilihlah, aku, atau Vallea-Vallea itu.”

“Tentu aku akan memilihmu, sayang.”

“Tapi, yang mengusik pikiranku adalah, mengapa Ayahmu baru memberitahumu ketika kau sudah memiliki kekasih? Maksudku, ada banyak waktu, ketika kau masih sendiri. Mengapa harus sekarang? Saat ini? Ketika kau sudah memiliki penjaga hati?”

“Karena mereka baru bertemu, apa kau ingat, ketika Valle—“

“Berhenti menyebut namanya! Aku muak mendengarnya.”

“Oke, baik, aku salah, aku minta maaf. Ingat ketika sekretarisku membawakan sebuah berkas penting ke rumah? Nah, saat itu ada Ayah dan mereka bertemu.”

“Jadi, sudah selama itu Ayahmu memberitahumu bahwa dia adalah calon tunangan anaknya?”

“Tidak, Ayah baru memberitahuku pagi tadi.”

“Jadi, apa maumu? Aku bisa menarik kesimpulan, bahwa kau memang tidak bisa menolak pernikahan itu. Dan k-kau menginginkan hubungan kita be—rakhir(?)”

“Tidak! Jelas aku akan menolaknya, aku tidak ingin kehilangan dirimu...” Bastian lalu memeluk gadis di hadapannya, mengelus punggungnya dengan pelan. Lalu salah satu tangannya beralih mengelus puncak kepalanya.

“Apa yang akan kita lakukan?” tanya Arin dengan suara tertahan.

“Aku akan memperjuangkanmu, sayang. Kita akan tetap bersama,” jawabnya.

“Lalu, kau mungkin akan mendapat hukuman dari Ayahmu, apakah tidak masalah?”

“Aku tidak bisa menolak permintaan Ayah, tapi aku tidak ingin kehilanganmu. Apa aku egois?”

“Bisakah kita bersama, meskipun tanpa persetujuan Ayahmu, Bastian?” tanyanya, kini raut wajahnya benar-benar menahan tangis.

“Aku akan lakukan sebisaku, Arin. Tolong percayakan padaku, ya?” pinta Bastian.

“Dan jika itu gagal?” tanyanya.

“Aku akan terus berusaha,” ucapnya. “Apa pun yang terjadi,” lanjutnya dengan suara pelan.

DandelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang