06. Wonwoo

97 38 205
                                    

Arin sedikit kebingungan, apa yang harus dirinya lakukan, saat ini? Tinggal di lingkungan yang sama sekali tidak ia kenal. Jujur saja, lingkungan ini sangat mewah. Lebih mewah darinya. Jika biasanya ia hanya berdiam diri, dan hanya cukup menerima laporan dari manajernya.

Kini, kegiatan itu harus terhenti. Karena ia sedang berada di rumah Kaivan. Bahkan gadis itu tidak memiliki ponsel. Dan dirinya yang belum mengenal dengan betul lingkungannya saat ini. Ia sama sekali tidak memiliki aktivitas lain. Jujur, ia sangat merindukan dunia modeling. Gadis yang sudah terbiasa hidup dengan kehangatan orang sekitarnya, sekarang harus terbiasa melakukan semua kegiatannya sendiri. Dan itu sangat membosankan.

Entah hanya perasaannya saja, kini ia merasakan kehilangan sosok Kaivan. Laki-laki cerewet itu, sukses membuat hatinya semakin kesepian.

Arin sering kali berkontemplasi pada kehidupannya sendiri. Dahulu, ia sering memimpikan kelak akan menikah dan tinggal bersama Bastian, lelaki yang sangat ia cintai. Rumah tangganya penuh cinta, dan pasti sangat hangat. Tapi impian itu, seketika hanya angan belaka. Gadis itu tidak yakin, bisa kembali mencintai laki-laki. Mengingat trauma terbesarnya sendiri, membuat dia semakin ketakutan.

Tapi, harapan itu pupus. Ketika dirinya tak sengaja mengenal Kaivan, sosok yang bisa membuatnya kembali tersenyum, membuatnya merasa kembali terlindungi. Membiarkan dirinya mengenal sedikit demi sedikit, sosok seorang Kaivan yang di matanya sangat konyol. Laki-laki dengan postur bak model itu, membuat hatinya yang semula beku, kembali menghangat secara perlahan.

“Aku pulang!”

Seruan itu, membuat Arin dengan segera keluar dari kamarnya. Ia melihat, jika Kaivan sudah pulang, tapi tatapannya membola dengan sempurna, ketika melihat seseorang di sampingnya. Seorang gadis.

Siapa itu?

Apakah dia kekasihnya?

Senyuman merekah yang semula ia berikan, dengan perlahan mulai luntur. Ia melihat Kaivan dengan tatapan malas.

“Apa kau sudah makan?” tanya Kaivan, pada Arin.

Arin tak menjawab, ia hanya mendelik tajam.

“Ada yang salah?” tanyanya.

Salah, karena kau membawa wanita lain!

Tentu itu hanya di dalam hatinya, ia tidak berhak melarang Kaivan, bukan? Apa haknya, dan ada apa dengannya?

“Siapa wanita itu?” tanya Arin, dengan ekspresi dingin.

Kaivan menoleh, lalu tersenyum. “Ah, y-ya, kau benar! Dia kekasihku.”

“K-kekasih?” beo Arin.

Hm, bukankah sangat cantik?” tanyanya.

Lebih cantik aku!! Batin Arin.

“Ah, biasa saja. Lagi pula semua wanita memang dasarnya cantik,” jawab Arin dengan acuh, ia sebisa mungkin untuk bersikap normal seperti biasanya.

“Ada apa denganmu?” tanya Kaivan.

“Aku? Tidak ada yang salah denganku, kenapa?”

“Sikapmu berbeda, Arin.”

“Sikapku? Memang sikapku seperti apa? Seolah kau sudah mengenalku sejak lama saja.” Arin berkata dengan sangat ketus.

“Jika aku salah, aku minta maaf.”

“Kau memang bersalah, Kai.”

“Maka dari itu, maafkan aku. Dan mari kita luruskan permasalahan kita," ucapnya. "Jadi, ada apa denganmu?”

“Mengapa kau membawa wani—ah maksudku, kekasihmu?” tanya Arin. “Apa kau hendak mengenalkannya padaku, Kaivan?”

“Betul sekali, memang pikiranmu sangat cerdas! Tak salah aku memilihmu.” Kaivan lalu menarik lengan Arin, dan membawanya menuju kekasihnya. “Isa, kenalkan ini Arin.”

“Isa,” sapanya, lalu menjabat Arin.

“Arin,” jawabnya dengan cuek.

“Oke, karena kalian sudah berkenalan. Maka, aku akan tinggalkan kalian.” Kaivan lalu berlari.

“Hey! Apa maksudmu?!” teriak Arin.

“Aku membawakanmu teman, Arin. Itu temanmu, agar kau tidak kesepian, lagi.”

“L-loh? H--?”

“Dia bukan kekasihku, aku hanya ingin melihat ekspresimu. Dan setelah melihatnya secara langsung, itu sangat menggemaskan! Sudah aku simpan di dalam memori ingatanku, dan aku akan memutarnya, katika sedang merindukanmu!” teriak Kaivan.

Sungguh, Kaivan memang sukses membuat senyum Arin terbit dengan sempurna. Tingkah konyolnya, cerewet layaknya seorang ibu yang tengah mengomeli anak gadisnya, serta rasa keingintahuannya, membuat ia merasa menjadi prioritas utama. Kadang juga, perlakuannya membuat hatinya melambung tinggi. Jangan salahkan dia, salahkan saja hatinya.

Padahal jika menilik lebih dalam, Arin dan Kaivan hanya dua insan yang sebelumnya tidak saling mengenal. Mereka dua manusia yang memiliki takdir yang berbeda, tapi kini takdir pula yang mungkin akan menyatukan mereka.

Bagaimana kelanjutan kisah keduanya?

DandelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang