03. Joshua

109 33 156
                                    

“Apa maumu?!”

Pertanyaan dengan nada sarkas itu, membuat Arin mendesis bingung. Bastiannya kini sudah benar-benar berubah dalam satu malam. Oh tidak, mungkin dalam hitungan jam. Ada apa sebenarnya?

Tatapan teduhnya, kini menatap lelaki di hadapannya. Ia meraih salah satu tangannya, tapi dengan segera ditepis. Membuat hatinya meringis sakit. Entah apa yang sudah merasuki kekasihnya.

“Jangan macam-macam, Arin.”

“B-Bas?” beo Arin.

“Kita sedang di kantor, Arin. Dan aku tidak ingin menimbulkan kesalahpahaman,” jelas Bastian.

“Tapi kamu kekasihku, Bastian.”

Bastian melirik sekilas, lalu mendengus kasar. “Aku tunangan Vallea, as you know.

“Tapi, sebelum dia datang di kehidupanmu, hubungan kita baik-baik saja, Bas. Dan semua karyawan tahu akan hal itu.”

“Tapi kini kenyataannya berbeda, Arin. Kumohon mengertilah. Nyatanya sekarang terbalik, k-kau hanya orang asing bagiku. Maka, jika beberapa karyawan melihat kita, mereka akan bergunjing di belakangmu.”

“Aku mencoba mengerti, Bas. Mencoba memahami, bahwa nyatanya kau bertunangan dengan wanita lain, tapi, ada apa denganmu?!”

“Vallea datang, pergilah.”

“Ta-kau berjanji akan menikahiku!” jerit tertahan Arin.

“Dan kau percaya?” tanyanya, lalu lelaki itu tertawa dengan sangat keras. “Wah! Tak kukira, bahwa kau akan terbuai dengan kalimat manis yang aku lontarkan. Mm, sebenarnya, aku sangat menikmati tubuhmu itu, Arin. Pantas saja kau menjadi model ternama, mengingat bahwa tubuhmu sangat luar biasa, seksi.”

Kalimat terakhir yang diucapkan oleh Bastian, mampu membuat Arin mengepalkan kedua tangannya. Ini sudah termasuk pelecehan seksual.

“K-kau brengsek, Bas!”

“Bisakah aku mencicipi tubuhmu untuk yang kedua kalinya, Arin?” tanyanya dengan senyuman mengejek. “Harga dirimu sudah tidak ada, maka tidurlah denganku, dan aku akan memberikan apa pun yang kau inginkan.”

“Meskipun aku meminta dirimu, apakah kau bisa mengabulkannya?”

“Selain itu. Aku tidak ingin kembali bersamamu, karena bagiku... kau hanya kesenangan semata, Arin. Sesuatu untuk pemuas nafsuku saja.”

“Bastian, brengsek! Kau, laki-laki mata keranjang yang pernah aku temui! Ingatlah satu hal, karma menunggumu di depan sana!”

Arin berjalan keluar dari kantor Bastian, ia memaki lelaki itu berkali-kali. Memijit pelipisnya, mencoba menghilangkan ketegangan yang tengah terjadi. Tapi tentu saja, dirinya tetap mencuri pandang ke arah ruangan Bastian.

Ia kembali memikirkan perbuatannya bersama Bastian, jauh sebelum lelaki itu dijodohkan. Mereka layaknya sepasang burung yang tak bisa dipisahkan. Hubungannya sangat intim. Siapa sangka, bahwa wanita itu sudah dikelabui oleh kalimat manis yang dilontarkan Bastian. Sungguh, dia bodoh. Bahkan hal paling berharga yang dimilikinya, kini telah hilang.

Apa yang harus aku lakukan? Bastian tidak mau bertanggung jawab. Batin Arin.

Memang benar, apa yang pepatah ucapkan. Cinta bisa membuat semua insan menjadi bodoh. Dengan sedikit kalimat manis saja, mereka pasti akan mudah terbuai. Dan ia merutuki nasibnya.

Arin memegang dadanya yang terasa sesak, air matanya tak bisa ia bendung lagi. Ia kembali mengingat ucapan Bastian sebelumnya.

Kita memang saling mencintai, tapi jujurlah, aku hanya menginginkan tubuhmu saja.

Wanita itu sekali lagi memegang dadanya yang terasa sangat nyeri, ia terus terisak mendapati kenyataan tersebut. Kalimat-kalimat yang diucapkan oleh lelaki itu, lagi-lagi mengusik ketenangannya. Arin menuruti semua permintaan dari Bastian, karena ia sangat mempercayainya, tidak ada sedikit pun pikiran buruk untuknya.

Arin menyusuri jalanan dengan langkah gontai. Hari ini adalah hari terburuknya, dijauhi oleh Bastian dan bahkan dia kehilangan satu-satunya lelaki yang sangat ia percaya.

Lalu, bagaimana ia menjalani harinya setelah ini? Arin seperti kehilangan separuh jiwanya, bahkan tidak ada yang memedulikannya.

Bunyi nyaring dari kendaraan, terdengar ketika Arin hendak menyeberang. Belum sempat ia menghindar, tubuhnya sudah dihantam oleh sebuah mobil. Ia melayang dan terhempas ke aspal dengan keras, ia merasakan anggota tubuhnya seperti terlepas, dan sungguh sangat sakit. Darah mengalir sangat deras dari kepalanya. Hidupnya seakan sudah tidak lama lagi, hanya tinggal menghitung detik saja, itu yang dapat ia rasakan.

Seketika, beberapa orang mulai mengerubungi tempat kejadian. Menatap prihatin pada keadaannya yang sangat parah.

Tuhan... tolong berikan aku kesempatan kedua, untuk memperbaiki ini semua. Batinnya, sebelum pandangannya benar-benar gelap.

DandelionWhere stories live. Discover now