05. Hoshi

69 21 105
                                    

Sudah berhari-hari, Arin tinggal bersama Kaivan. Dan tentu wanita itu, sedikit demi sedikit, sudah paham betul bagaimana sifat yang dimiliki oleh sang pemilik rumah. Mereka sepakat untuk tinggal bersama, ini demi kenyamanan laki-laki itu sendiri. Dan tentunya tanggung jawab yang sedang dilakukan oleh Kaivan.

“Ayo makan,” ujar Kaivan, setelah meletakan dua piring nasi goreng yang diselimuti telur dadar buatannya, nampak sangat menggiurkan.

Jika dipikir kembali, mengapa Arin tetap nekat untuk diam di rumah Kaivan? Ia bahkan tak tahu malu, hingga membuat sang pemilik rumah, selalu membuatkan makanan untuknya.

“Mengapa tidak kau makan?” tanya Kaivan, dengan suara pelan.

Arin tersentak, dan tersadar dari lamunannya. “Ah, maaf. Selamat makan!” serunya seraya tersenyum canggung. Ah, rasanya dia ingin hilang ditelan bumi, karena ketahuan menatap lelaki di hadapannya.

Baru satu kunyahan, ia merasakan ada yang aneh. Tidak, mengapa nasi goreng ini berbunyi sangat tidak wajar? Seperti terasa sedang mengunyah sesuatu yang crunchy. Arin melirik Kaivan diam-diam, lalu memuntahkan makanannya. Dan, what the f--. Bawang bombai yang masih mentah, belum lagi ada paprika yang benar-benar mentah. Ia meringis, ketika melihat lelaki itu biasa saja, saat mengunyah bahan-bahan yang masih mentah tersebut. Entah ini sebuah pertanda, bahwa laki-laki itu sedang menabuh genderang perang, atau memang tidak sengaja memasaknya dengan suhu sedang.

“K-kau sudah lama, bisa masak?” tanya Arin dengan hati-hati. Ia takut, jika lelaki di hadapannya terganggu oleh pertanyaan itu.

“Memasak adalah hobiku, kenapa? Apa masakanku tidak cocok dengan lidahmu?”

Arin terpaksa untuk tersenyum, ia lalu mengaduk nasi gorengnya dengan pelan.

“Berhenti mengaduknya, jika kau tidak menyukai masakanku, tidak masalah untukku.” Kaivan menatap Arin dengan tatapan lembut. “Ah, benar! Aku memang seperti ini, tidak terbiasa menggoreng bawang dan sebagainya terlebih dahulu. Y-ya maksudku, aku memang menggorengnya, tapi tidak sampai layu. Karena aku tahu, vitaminnya pasti akan hilang. Benar, bukan?”

Arin hanya diam, mendengar penjelasan dari Kaivan. “Maaf, karena aku menyusahkanmu.”

“Tidak, sama sekali tidak menyusahkanku. Kamu seperti ini, karena ulahku sendiri.”

“Aku sebenarnya bukan pemilih makanan, hanya saja. Ini masakan baru untukku, aku tidak terbiasa dengan masakanmu. Mm, sejujurnya... masakanmu cukup enak,” jelas Arin.

Kaivan menarik napas, ia menatap gadis dihadapannya dengan tatapan dalam. “Aku lupa bahwa aku sedang bersama tamu, seharusnya aku bertanya terlebih dahulu bukan?”

“Tidak masalah, Kai. Tak usah kau pikirkan. Aku cukup berterima kasih, karena kamu mau memasak untukku.”

“Anggap saja aku sedang bertanggung jawab,” jawab Kaivan.

Arin berdecak sebal, ia memutar kedua bola matanya dengan malas.

“Aku akan membuatkanmu makanan baru,” ucap Kaivan, lalu ia mengambil piring Arin, hendak membuangnya. Namun tangannya dicekal.

“Tak perlu, aku makan ini saja. Lagi pula, ini enak. Aku hanya perlu menyingkirkan bawang serta paprikanya saja, bukan?” tanya Arin, dengan suara menggemaskan.

Kaivan hanya diam, jantungnya berdegup kencang, ketika mendengar suara menggemaskan yang Arin miliki.

What's going on, Kaivan?” tanya Arin, ia bahkan menjentikkan jarinya di hadapan Lelaki itu.

Kaivan meletakan sendoknya, menatap Arin dengan serius. “I don't mind, maksudku aku akan bertanggung jawab. Aku akan menjagamu.”

“Apa yang kau ucapkan, Kaivan?” tanya Arin dengan wajah bingung.

Kaivan menatap Arin sejenak, kemudian tersenyum. Senyumannya sangat indah, kedua matanya bahkan ikut tersenyum. “Maaf, tapi aku memikirkanmu untuk ke depannya akan seperti apa. Sebisa mungkin, dan dengan sekuat tenaga, aku akan menjagamu.”

Arin terenyak sesaat, Kaivan begitu memikirkannya. Ini tidak pantas untuknya.

Wah! Rasanya aku seperti sedang dilamar olehmu,” keluh Arin, dengan menyipitkan kedua matanya. Jujur ia sedang dilanda kebingungan. “O-oh! Jangan terlalu menganggap serius ucapanku. Aku hanya sedang kehilangan bahan pembahasan saja, tak usah kau pikirkan. Bagaimana cara mengucapkannya, ya?”

“Sudahlah, Arin. Mengapa kamu sangat menggemaskan sekali?” tanya Kaivan tanpa sadar.

“Eh?”

Ah! Maksudku t--tidak seperti i--”

“Diam, Kai. Aku menyukai ketika kamu seperti ini, salah tingkah. Hahahahaha!”

Kaivan hanya tersenyum, sungguh wanita di hadapannya saat ini sangat menggemaskan. Arin itu seperti memiliki dua kepribadian. Sikapnya gampang berubah. Dan juga, membuat hatinya lemah tak berdaya. Entah sihir apa, yang sudah dia percikan padanya.

DandelionWhere stories live. Discover now