02. Jeonghan

167 51 234
                                    

Bulatan matahari yang menguning, layaknya telur goreng dan semburat jingga di sore hari, seperti menghipnotis siapa pun yang melihatnya.

Dengan melihat proses matahari yang kembali ke dalam tempat asalnya, bisa menciptakan rasa syukur atas ciptaan Tuhan yang Maha segalanya. Bersyukur karena masih tetap diberi kehidupan hingga detik ini.

Arin, gadis cantik dengan balutan gaun berwarna putih, berdiri dengan tangan yang bersedekap pada beton pembatas yang berada di atap sebuah hotel. Ia memperhatikan suasana sore ini dengan pandangan takjub.

Terkadang, matanya memicing untuk menghindari cahaya tipis matahari sore yang tak sengaja mengenai paras cantiknya. Tidak cukup terik, tapi mampu menyilaukan mata cantiknya.

Ia memejamkan kedua matanya, meraup udara banyak-banyak untuk mengisi paru-parunya yang lapang. Arin, ia membiarkan angin sore menyapa wajah, serta memainkan rambut panjangnya.

Arin lantas merenung, sorot matanya mulai memperhatikan orang-orang yang mulai berdatangan.

Taman hotel yang semula polos, kini dihias dengan sedemikian rupa. Sangat mewah, mengingat hari ini adalah hari pertunangan Bastian dan Vallea. Dan kenapa pula, dirinya harus bersusah payah datang menghadiri? Bukankah, akan lebih bagus jika dia tidak datang, demi kesembuhan hatinya sendiri?

Lalu, haruskah dirinya menyerah? Dan mulai merelakan lelaki itu, dengan wanita lain?

Arin mendengus malas, melihat apa yang sedang dilakukan oleh beberapa keluarga dari Bastian. Tapi yang lebih membuatnya kesal adalah, di sana, nampak Bastian tengah menikmati acara pertunangan tersebut. Sama sekali tidak menghiraukannya sedikit pun. Bahkan melihatnya saja tidak, Arin bagai angin lalu untuknya.

Ia memperhatikan kekasihnya, lelaki itu cukup tampan dan akan selalu terlihat tampan jika mengenakan tuxedo. Sangat berwibawa.

Sekali lagi, ia melirik penampilannya hari ini. Tidak terlalu mencolok. Tapi cukup menawan, melihat bagaimana penampilan tunangan dari kekasihnya yang terkesan sangat sederhana.

“Apa kau tidak ingin memberikan selamat, untuk mereka?”

Pertanyaan itu, membuat Arin menoleh dan mendapati seorang laki-laki dengan paras rupawan tengah tersenyum hangat.

Ah?” beo Arin.

“Ayo! Aku akan mengantarmu,” lalu lelaki itu menggandeng lengan Arin dengan sangat erat, seakan tengah memamerkannya pada Bastian. Dan ia tak peduli dengan tatapan tajam yang diberikan oleh gadis tersebut. Hatinya menghangat, jantungnya berdegup kencang, kala menggenggam lengan tersebut. Lengan yang tak seharusnya dia genggam sedikit pun.

“Permisi, tidak bisa seperti ini.” Arin berusaha melepaskan genggaman tangannya.

“Tidak ada penolakan, Nona. Aku tidak ingin melihat wajah murungmu itu.”

“Tapi, tu-”

Genggaman tangannya semakin mengerat, menandakan bahwa lelaki itu tidak bisa dibantah. Membuat Arin hanya bisa mendesah pasrah.

“Sudahlah, kau hanya harus menuruti perkataanku. Tenang saja, aku tidak akan menjerumuskanmu ke dalam lubang kegelapan. Sebaliknya, aku akan membawamu pergi dari lubang tersebut. Meskipun aku tidak tahu, lubang kegelapan apa, yang sedang menimpamu.”

“Baiklah, baiklah. Aku akan menuruti semua perkataanmu, jadi... apa yang harus aku lakukan?” tanyanya.

“Kau,” ucapnya dengan sedikit berbisik. “Harus menyelamati mereka dengan senyuman terbaikmu.”

“Bagaimana bisa?!” tegur Arin.

“Aku tahu masalahmu. Tapi aku memiliki alasan lain, Nona. Jika kau tersenyum bahagia, kau akan melihat seberapa menyesalnya laki-laki yang kau sayangi, karena telah melepaskanmu. Percaya padaku.”

“Dan mengapa kau tahu, bahwa lelaki itu adalah seseorang yang kusayangi? Dan juga, maaf, kita tidak saling mengenal satu sama lain.”

“Tatapanmu menjelaskan semuanya, Nona. Terserahmu saja, kau akan menuruti perkataanku atau tidak.”

Dengan berbagai pertimbangan, Arin akhirnya mendesah pasrah. Ia malas jika harus berdebat dengan lelaki di sampingnya ini. Menurutnya, lelaki itu sangat cerewet, dan ia tak menyukainya.

“Selamat,” Arin lalu tersenyum manis. Senyumnya sangat amat singkat, namun terkesan lain di mata Bastian. Begitu selesai dengan senyumannya, ia segera pergi dari hadapan lelaki brengsek tersebut.

Suasana kembali hening untuk beberapa saat, ia mengerucutkan bibirnya. Gadis itu kembali melihat langit sore yang sangat cantik.

“Nona...” panggil lelaki itu, setelah beberapa menit terdiam.

“Y-ya?” sahut Arin, tanpa mengalihkan pandangannya. Dan, ia merutuki tingkahnya. Kenapa harus gugup di hadapan laki-laki yang tidak dia kenal?

Arin, kau sangat bodoh! batinnya, ia memukul kepalanya sendiri.

“Kabur, yuk? Di sini panas, terus jika aku memperhatikanmu, itu juga semakin panas.”

“Jangan mulai mendramatisir keadaan, Tuan!”

“Aku tidak mendramatisir, cantik. Itu benar adanya,” ucapnya, ia lalu tersenyum manis.

Arin memutar kedua bola matanya dengan malas, menatap lelaki yang juga sedang menatapnya dengan kedua alis yang dinaik-turunkan.

“Ke mana?” tanya Arin.

“Yang jelas, kita keluar dulu dari hotel ini. Gimana?”

“Sebentar, mikir dulu.”

“Lama sekali!” gerutu lelaki asing di sebelahnya.

Arin mendelik tajam. “Diamlah, aku sedang berpikir.”

“Maka berpikirlah, aku tidak akan menculikmu.”

“Apa aku percaya? Kita tidak saling mengenal, bisa saja kau merencanakan sesuatu yang jahat, bukan?” tanya Arin.

“Ini bukan saatnya berdebat, Nona...”

Lelaki itu mendesah pelan, lalu segera menarik pergelangan tangan wanita di hadapannya. Mereka berlari dan keluar dari area hotel.

Tanpa Arin ketahui, Bastian sedaritadi memperhatikan gelagatnya. Amarah sangat mendominasi hati serta pikirannya.

Senyum merekah, terbit dari bibir tipis yang dimiliki oleh Arin. Baru kali ini, ada yang memihaknya. Dan ternyata, itu sangat membahagiakan untuknya.

DandelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang