04. Jun

112 39 309
                                    

Sinar matahari yang berhasil lolos dari sela-sela ventilasi dan menerpa wajahnya, memaksa Arin untuk segera bangun. Pandangannya mengedar, menatap ruangan bersih yang membuatnya mengernyit bingung. Seluruh tubuhnya sangat nyeri dan hampir tak bisa digerakkan, kepalanya pusing bukan main.

Argh!” ringisnya, namun tak ada seorang pun di ruangan tersebut. Ia sungguh kesakitan. “Siapa pun, tolong!” jeritnya.

Jeritan itu, membuat seseorang di luar sana, dengan segera berlari.

Derap langkahnya, membuat Arin menoleh, dan mendapati sosok jangkung tengah menatapnya penuh khawatir. Lelaki itu dengan segera mematikan ponselnya.

“Apa kau sudah bangun?” tanyanya.

Arin mendelik, mendengar pertanyaan itu. Apakah dia bodoh? Sudah jelas dirinya membuka mata.

“Aa, maksudku—“ lelaki itu menarik nafasnya. “—Kau pasti bingung, aku hanya khawatir, karena kau tak kunjung bangun.”

“Apa maksudmu?” tanyanya dengan sebelah alis yang dinaikkan.

“Dengarkan aku,” ucapnya. “Setelah apa yang sudah aku lakukan, apa kau ingat kejadian di mana kau tertabrak sebuah mobil?” tanyanya, dan langsung diangguki oleh Arin. “Maafkan aku, atas kecerobohanku waktu itu. Itu salahku, dan aku akan menyerahkan diri, setelah kau bangun.”

Arin yang mendengar itu, hanya bisa menatapnya dengan pandangan yang sulit untuk dijelaskan.

Ia ingat betul, bagaimana dirinya tertabrak dan tak menyangka bahwa Tuhan masih memberikan kesempatan untuknya.

“J-jadi maksudmu?” tanya Arin.

“Iya, kau adalah korbanku. Aku menabrakmu, dan aku minta maaf.”

“Lupakan,” ucap Arin.

“Apa maksudmu? Tentu aku harus bertanggung jawab.”

“Berapa lama, aku tak sadarkan diri?” tanya Arin.

“Satu bulan,” jawabnya dengan singkat.

“Wah, hebat!” pekiknya.

“Wanita aneh,” ucap lelaki itu, dengan suara pelan.

“Apa kau bilang?” tanyanya.

“Ah, tidak! Perkenalkan, namaku Kaivan Angkasa Pura. Panggil saja, Kaivan.” Lalu menjabat tangan Arin.

“Edelweiss Kyuurin Kaira, panggil saja Arin.”

“Ah, oke Nona Arin.” Kaivan lalu tersenyum.

“Panggil nama saja,” ralatnya.

“Ngomong-ngomong, apa aku boleh bertanya sesuatu?” tanya Kaivan.

Arin yang melihat lelaki itu, hanya berdiri sedaritadi, dengan inisiatif menepuk pantat ranjangnya. Membiarkan agar Kaivan duduk di sebelahnya.

“Tanyalah, jika itu membuat hatimu mengganjal.”

Kaivan lalu berjalan, dan duduk di ranjang bersama Arin.

“Sebelumnya aku minta ma—“

“Oh ayolah, jangan terlalu sering meminta maaf!” keluhnya.

“Aku minta maa—“ Kaivan dengan segera menghentikan ucapannya, begitu ia sadar. “Aku ingin bertanya, sebenarnya hari itu, apa yang sedang kau pikirkan?”

Arin tak langsung menjawab, ia menjeda kalimatnya dengan cukup lama. Berpikir, apa yang harus dia katakan. Bolehkah dia berkata jujur? Atau, haruskah dia berbohong saja? Berbohong demi kebaikan, tentu bukan sebuah dosa, bukan?

“Jika kau keberatan untuk menjawab, aku tak akan memaksamu, Arin.” Kaivan kini bersuara, ia melihat raut wajah ragu yang gadis itu ekspresikan. Banyak sekali kekhawatiran yang jelas tersimpan dalam wajah cantik itu.

Arin tersenyum, “Aku sedang patah hati.” Ucapnya dengan enteng, lalu tersenyum dalam seperkian detik.

Kaivan merasa tak enak, ia hanya bisa menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Tersenyum canggung, untuk menormalkan degup jantungnya.

“Tak usah meminta maaf,” cicit Arin. “Tahukah, wajahmu menggambarkan semuanya.”

“Apa yang tergambar dalam wajahku? Bukankah aku sangat tampan?” tanyanya.

Arin tak bisa untuk menahan tawanya. “Kau sangat percaya diri sekali, Kai—wait, Kai? Sepertinya aku mengingatmu.”

“Ap—kau! Kau yang ada di hotel itu, bukan? Aku menggandeng lenganmu, betul?”

“Ya, wah! Dunia sangat sempit, bahkan kita tidak saling mengenal. Dan nyatanya kita bertemu kembali,” ucap Arin.

“Takdir itu sangat lucu, bukan? Itu tandanya, kau adalah takdirku, Arin.”

“Apa kau mabuk?” tanya Arin.

“Tidak, aku sepenuhnya sadar,” jawabnya.

“Sudahlah, Kai. Aku sedang malas berdebat,” ucap Arin.

“Baiklah, istirahatlah.”

DandelionWhere stories live. Discover now