2. Dirga hadir

120 21 0
                                    

Di dalam klinik serba mewah, diatas ranjang pasien yang khas, Marina mulai terbangun dari pingsannya yang tadi berlanjut tidur dikarenakan obat. Wania cantik nan anggun dengan perban mengelilingi kepala dan kening itu celingukan kala mendapati pasangan suami istri yang tak muda lagi sedang berdiskusi di dekat pintu kamar rawat inap yang menutup rapat. 

Marina sempat menggeliat dan melenguh, namun langsung berganti sebuah ringisan. Sekujur tubuhnya terasa sakit semua. 

"Euungh...! Kenapa sakit bangeet? Kep-kepala akuuu..." lenguhnya dengan lemah menyentuh kening. ia merasaakn sesuatu yang beda. Ya, itu perban.

"Ib-buu... bapaaak...." panggil Marina pada suami istri yang terus bicara yang lebih cocok disebut bisik-bisik.

"Ehh? Mbaak? Mbaknya udah bangun?"

"Sebentar, bapak panggil dokter. Mamah jaga sini aja."

Marina terus bertanya lewat tatapannya kala wanita paruh baya itu mendekat padanya dengan membawa gelas bersama sedotan yang disimpan di meja samping ranjang.

"Sebentar. Mbak itu badannya banyak memar. Jangan banyak gerak dulu. Udah gitu aja." Wanita paruh baya itu sedikit menahan bahu Marina. Ia tidak mau Marina kesakitan.

"Permisi, ibu. Lah? Mamah?"

Baru saja Marina akan minum lewat sedotan yang disodorkan ke bibir, tiba-tiba dokter muda gagah nan tampan hadir membuka pintu. Marina hanya menatap lemah saja kala ia harus menahan haus.

"Keviiin! Ponakan kamu ituuu! Nakal banhget, emaang! Ck. Gimana inii? Mbak ini kecelakaan gara-gara bantu Angel!" ucap wanita patuh baya itu mengeluh dengan resah.

"Ssuut. Nanti bahasnya, mah."

"Permisi, mbak. Mbaknya sudah sadar. Biar saya periksa." Dokter bernama Kevin itu mengabaikan ibunya. Ia bergegas memeriksa Marina sesuai prosedur.

Marina saat kooperatif saat diperiksa. Ia biarkan stetoskop ditempelkan di beberapa bagian dada. Ia saksikan bagaimana dokter itu memeriksa cairan infus dan membenarkannya. Tiba-tiba mereka saling menatap. Marina keheranan kenapa dokter itu terus menatap matanya. Aapakah ia akan buta? Marina sampai tak bisa beralih juga dari mata dokter campuran Tionghoa itu.

Tak bisa dipungkiri, sebagai laki-laki, Kevin terpukau dengan kecantikan Marina. Meski terlihat pasiennya itu seperti wanita kurang nutrisi, tapi kecantikannya tak bisa disembunyikan.

"Gimana, dok? Biayanya mahal?" tanya Marina dengan suara lemah. Tidak, hanya uang yang ia pikirkan sekarang. Padahal uangnya untuk kontrakan dan biaya darurat jikalau ia telat mendapat pekerjaan.

"Oh,... enggak, kok, mbak. Ngapain mikirin biaya?" jawab dokter muda itu terkekeh tanpa merendahkan.

"Mah, kasih minum dulu."

"Eh, iya. Ya ampun, mamah lupa." 

"Minum dulu, mbak. hati-hati."

Marina menyampingkan wajah tuk bisa memasukan sedotan itu pada bibir. Ia tak sadar kalau dokter muda itu terus memperhatikan setiap pergerakannya.

Cukup lama Marina minum sembari mwnutup mata karena rasa yang nikmat ketika air melewati tenggorokan. Tapi, tiba-tiba saja sedotannya ditarik orang lain, entah siapa.

"Oh, mamah salah, ya ngasih minumnya? Maaf. Bentar."

"Bukan gitu, mah. Ck! Sini Kevin aja, biar ga bahaya ke pasien," ucap dokter muda dengan tinggi tubuh 177cm itu mengambil gelas dari tangan ibunya, lalu menyuapi pasien sesuai yang ia maksud.

Kening Marina sempat mengernyit spontan karena tak terima acara minumnya terganggu. Padahal tidak ada yang salah dengan posisi minum sebelumnya.

Dengan sedikit kecewa Marina menerima sodoran sedotan dari dokter muda itu. Padahal tidak ada yang beda dari gaya minum dari dokter ini dan ibu yang sebelumnya. 

Miracle of MarinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang