5. Dijaga❤️

153 23 2
                                    

Marina terdiam bak mayat hidup di atas ranjang pasien. Saat terbangun dari tidur dan bius telah habis, satu kakinya dinyatakan lumpuh. Ya, ia semakin tak berdaya saja. Padahal ia hanya ingin bertemu dengan anak semata wayangnya di sini, tidak lebih dari itu.

Dirga memasuki kamar dan masing tersisa larinya. Di tangannya ada jas yang ia genggam. Sepertinya telah ada rapat penting. Penampilannya stengah berantakan. 3 kancing atas dan dua kancing bawahnya terbuka. Ia memakai dua kalung khas yang tak pernah dilepas.

"Marinaa... Marinaaa... Semua bakalan baik-baik aja. Lumpuh itu bukan akhir dari segalanya. Kamu pasti sembuh! Tatap aku sini! Kamu harus yakin kalo kamu bakal sembuh!" runtut Dirga menangkup wajah sayu itu dan memaksanya mendongak.

"Ga usah kuatirin apapun. Yaaa? Hmm? Lumpuh emang terkesan menyeramkan. Percaya sama aku, aku bakal bikin kamu sembuh total seperti sebelumnya."

"Heiii? Marinaa..." 

"Lepasin, kak. Aku cuman mau sendiri." Marina mendorong tangan itu dengan cukup kuat,namun Dirga tak mau kalah.

"Tolong tinggalin aku sendiri, kak," lirihnya membuang muka.

"Aku ga bakal tinggalin kamu. Aku disini. Tapi aku ga bakal ajak kamu bicara sampe kamu duluan yang ngajak. Oke?"

Marina mengedik tanpa mau banyak bicara. Ia buat ranjangnya bisa untuk ia tidur merebahkan tubuh. Ia tutupkan selimut pada seluruh tubuh, bahkan kepala. Ia meringkuk dan menangis.

"Saya mau, kalian temuin wanita biadab itu! Bawa sekarang juga kehadapan Marina."

"Kak Dirga..." Marina menyingkap selimut. Suaranya kecil dan datar.

"Aku udah tahu."

"Tahu apa, kak?" tanya Marina kebingungan.

Marina kebingungan kala Dirga mendekat. Dirga bicara kalau Dirga sudah tahu bahwa lima tahun yang lalu Marina tahu kalau ibunya ternyata adalah istri kedua ayahnya. Dan itu membuat Kalina semakin benci pada Marina karena rahasia itu sangat membahayakan.

Seketika Marina meminta maaf. Ia bicara dengan jujur kalau ia takut sekali dengan segala ancaman Kalina. Jangan pikir Marina bisa hidup tenang kala itu, tidak sama sekali. Sudah berbagai macam cara pembunuhan ditujukan padanya oleh Kalina.

"Harusnya kamu bilang." Dirga kecewa.

"Aku takut, kak. Kak Dirga, kan, waktu itu sakit-sakitan. Gampang pusing. Apa ga tega aku kasih tahu itu saat kak Dirga sakit?"

"Harusnya kamu ngasih tahu kalo kamu sering dijahatin." Dirga begitu dingin.

"Harusnya kak Dirga sebagai suami bisa peka, kak. Aku selalu ketakutan dan cuma bisa diem setiap ada tante Kalina. Apa kak Dirga waktu itu peduli?"

"Kak Dirga selalu bilang aku berlebihan, bahkan katanya aku akting."

"Mana berani aku dapetin bicara hal sebesar itu saat hal-hal kecil aja ga didenger."

"Itu beda, Marina. Tetep, Harusnya aku kasih tahu itu." Dirga tak mau disalahkan.

"Kak Dirga ga usah panggil tante Kalina kesini. Aku juga ga mau debat sama kakak. Ga bakal ada ujungnya. Tujuan aku ke Jakarta bukan buat hal-hal kayak gini." Marina menyingkap selimut dan bersiap untuk kembali menenangkan diri.

Dirga spontan mencegah. Ia merasa bersalah. Ia merasa mereka perlu lebih lama berkomunikasi. Dirga harus meminta maaf juga lewat perkataan tidak langsung. Ia tak maun meminta maaf secara langsung untuk kesalahpahaman ini.

Marina menolak untuk diganggu. Ia berani seperti ini karena Dirga harus tahu batasan sampai mana ia bisa mentoleransi. Hidupnya sering sekali tersiksa.

"Aku cuma mau ketemu leon! Hiks. Leon ajaaa! Ga ada aku mau urus-urusan lain! Aku cuma mau anak aku, kaak!!"

Miracle of MarinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang