3. Dibawa Dirga.

112 22 3
                                    

Dirga berlari kencang ke arah suara Marina terdengar. Ia tampak sangat mencemaskan kondisi Marina. Berulangkali ia mengusap wajah dengan gelisah. 

Sepasang wanita dan pria itu sempat terhenti langkahnya. Mereka saling menatap satu sama lain, memandang dalam diam. Ada yang mengganjal dari mereka berdua. Mereka bingung harus berbuat apa setelah bertemu langsung, padahal sebelumnya saling mencari.

Wanita dalam balutan baju tidur kaos besar dan rok itu mendekat. Perban yang mengelilingi kepala membuat pria itu terpaku. Belum lagi satu kakinya sama dibungkus perban hingga betis.

"Kak Dirga apakabar? Ley,.... Leon apakabar?" tanya Marina memberanikan diri. Sangat hati-hati sekali ia bicara. Ia takut pria itu marah.

"Akuu... Aku tinggal di Jakarta sekarang. Aku mau sering ketemu Leon. Aku bakal terus berusaha buat bisa dapetin Leon. Aku ibunya, kak."

Lama Dirga terdiam membeku. Semua orang yang melihatnya akan tahu kalau ia rindu pada Marina yang selalu sabar menghadapinya yang dulu dinyatakan lumpuh permanen. Marina lah yang selalu menyemangati, merawatnya setiap hari tanpa menuntut apapun.

"Aku bakal maksa, kak. Aku ga kuat lagi dijauhin dari anak aku..." Marina menangis pilu ditengah ucapannya yang terasa menyayat.

"Kamu bisa aja maksa, tapi aku juga bisa tetep nolak." Dirga seolah berubah dari Dirga beberapa detik lalu.

"Wanita gila harta dan tukang selingkuh kayak kamu ga pantes jadi ibu," lanjutnya menyeringai tipis sekali, namun berhasil mencabik habis isi hati wanita cantik berhati lembut di hadapannya.

"Hiks. Hiks.... Sebegitu marahnya kakak sama aku."

"Lagi pula, mas Juna udah bilang kalo dia cuma disuruh sama tante Kemala, dan aku dijebak. Tapi kenapaa?"

"Sssst!" ringis Marina mencengkeram kepala. Dirga disana spontan mendekat seolah akan merengkuh. Namun tampaknya rasa gengsi pria itu terlalu tinggi.

Marina meremas satu sisi kepala. Satu tangannya berusaha menyeimbangkan tubuh sekaligus berusaha menggapai dinding. Ia tampak butuh pertolongan. Ia butuh untuk duduk.

Pria sangar dengan bulu-bulu tipis di rahang yang mana adalah keturunan Italia itu spontan mendekap menangkup kedua bahu Marina sembari bertanya apakah wanita itu baik-baik saja. Ia tangkup bahu itu dan setengah memaksa agar sang empunya duduk di kursi tunggu yang memang disediakan di lorong setelah lobi.

"Marinaa....?" tanya Dirga menunggu dengan risau. Dengan gagah ia berlutut di hadapan Marina yang duduk di kursi.

"Ssstt...."

"Ss-ssakit banget kepala aku, kaak. Kunang-kunang jugaa..."

"Hei-hei! Suster! Iya, kamu!" teriak Dirga memanggil perawat yang berada di kejauhan.

"Permisi, pak, mbak, ada yang bisa saya bantu?"

"Ng-Nggak, mbak, ga ada. Kak, aku ga kenapa-napa, kok."

"Kamu sakit! Berdiri tegak aja kamu ga bisa, kan?!" tegas Dirga tak sadar lengannya dicengekeram erat oleh Marina.

Dengan kondisi yang mengkhawatirkan, Marina menatap nanar penuh permohonan pada lelaki yang sedang berlutut di hadapannya. Airmata tak bisa lagi ia bendung.

Sangat erat Marina mencengkeram dan mengusap kedua lengan Dirga. Ia memohon agar ia bisa bertemu dengan anak mereka.

"Kaak.... Leon, kaak.... aku cuma mau rawat Leon, kak. Jangan jauhin aku dari dia." Mencebik pedih.

"Kamu bisa pergi." Dirga memerintah perawat itu.

"Mbaak... mbaknya sakit itu. Lemes begit–."

"Pergii! Saya bilang, pergi sekarang!" bentak Dirga begitu menyeramkan. Ia sampai setengah berjingkat. Ia memukul kursi besi kosong yang ada disamping Marina hingga mengeluarkan suara bising yang cukup lama.

Miracle of MarinaWhere stories live. Discover now