PROLOG

703 111 10
                                    

Wallflower.

Artinya sih hiasan dinding, tapi malam ini, kiasan itu lebih tepat digunakan untuk menggambarkan seorang yang pemalu, kikuk, dan merasa terkucilkan dari sebuah pesta. Itulah yang terjadi pada Bonnie, sebelum Ali datang menghampirinya.

"Ali." Lelaki berkacamata tebal itu mengulurkan tangan tanpa melihat ke arah Bonnie.

"Iya, udah tahu. Dulu kita sekelas." Bonnie membenahi kacamata yang tidak kalah tebal dari milik Ali.

Ali menurunkan tangannya untuk diusap-usap ke permukaan jas norak yang ia kenakan hingga kemudian tercetak keringat dari telapak tangan. Bonnie beruntung tidak menyentuh tangan penuh keringat itu. Keduanya lalu saling mengedarkan pandangan. Ke mana saja, asal bukan ke arah satu sama lain.

Ada sebabnya mereka begitu kikuk berada di acara reuni akbar SMA. Dahulu, keduanya sama-sama dijauhi karena dianggap freak alias aneh. Kita semua pernah memiliki satu-dua teman yang sengaja tidak kita ajak bergaul. Entah karena tidak nyambung, bau badan, usil, nakal, dan lain sebagainya. Dalam kasus Bonnie dan Ali juga tidak jauh berbeda. Dulu Ali dikenal sebagai wibu atau orang yang amat menyukai budaya populer Jepang, khususnya manga, anime, atau lagu-lagunya. Dia suka menyendiri sambil membaca komik-komik sewaan di sudut kelas, sehingga kemampuan sosialisasinya lebih tumpul dari anak-anak kebanyakan.

"Sendiri?" Ali kembali mengupayakan komunikasi dengan sosok di sebelahnya.

"As always." Bonnie menjawab.

Hening lagi. Mereka mendengarkan lagu yang diputar oleh siapa pun yang percaya diri mengendalikan sound system, padahal memiliki selera musik yang dipertanyakan.

"Aku juga sendiri," ujar Ali.

Kali ini bukan hanya Ali yang mengusap telapak tangan ke permukaan jas, melainkan Bonnie juga. Bedanya Bonnie mengelap telapak tangannya di kain katun yang membentuk rok boho panjang.

"Salah kostum, ya?"

Akhirnya Bonnie menoleh. "Siapa?"

Alih-alih menjawab, Ali justru mengedikkan dagu ke arah pakaian yang dikenakan Bonnie.

Bonnie tak menyahut. Dia bisa saja membalas komentar Ali tentang baju yang mereka kenakan. Ali tidak kalah menggelikan darinya. Laki-laki itu mengenakan jas beludru oranye yang menyakitkan mata. Daripada berkomentar, kepala Bonnie celingukkan ke sana-kemari, mencari-cari sosok yang muncul dalam pembacaan peruntungannya hari ini.

Menurut kombinasi kartu tarotnya, dia disarankan untuk ikut acara reuni akbar karena seseorang yang penting bagi masa depannya akan muncul. Seorang laki-laki, berusia cukup matang untuk dikatakan dewasa. Entah apa perannya di kehidupan Bonnie yang stagnan. Yang pasti, Bonnie ingin membuktikan sendiri seberapa penting orang itu bagi hidupnya kelak.

Suara tepuk tangan membahana tiba-tiba, hampir mengagetkan Bonnie.

Seseorang naik ke atas panggung dan berdiri di podium. Dia mengenalkan dirinya sebagai Edgar Pragilaksono, orang yang disebut MC sebagai perwakilan alumnus sukses berwirausaha sejak muda. Itu dia. Tidak salah lagi. Sejak tatapan mereka bersirobok sekilas, Bonnie merasakan getaran magisnya. Dia lah sosok yang hari ini muncul dalam pembacaan tarot.

Bonnie mencatat namanya dalam hati dan mendengarkan dengan seksama setiap kalimat yang keluar dari mulutnya. Mulai dari kapan dia memulai usaha, jatuh bangun usahanya, sosok-sosok yang berjasa bagi kesuksesannya, serta ucapan terima kasih tak terhingga yang ditujukan pada sang istri karena telah mendampinginya sampai hari ini.

Bonnie mengernyit.

Ia menonton Edgar menerima ucapan terima kasih dari MC setelah pidatonya berakhir, lalu turun untuk menghampiri istrinya yang cantik dan berperut buncit. Kernyitan di dahi Bonnie makin dalam.

LOVE + PROPHECY (New Edition)Where stories live. Discover now