06 | TEMPERANCE

392 106 36
                                    

Kepedulian

Embusan dingin membuat Bonnie bergidik dan terbangun. Ketika ia membuka mata, jam digital di nakas menunjukkan pukul 03.00 dini hari. Bonnie yakin telah mematikan penyejuk udara sebelum tidur dan menutup semua jendela. Lalu dari mana embusan udara dingin ini berasal?

Sudahlah, pikirnya. Bonnie terlalu mengantuk. Hanya perlu menarik selimut lalu lanjut tidur lagi. Tapi sesuatu menahan selimutnya. Bonnie yang awalnya sudah menutup mata, kini kembali membukanya dan menarik lebih kencang. Selimutnya masih tersangkut. Sekali lagi ia menarik selimut itu hingga tersentak, hampir menutupi seluruh wajahnya. Sewaktu hendak membetulkan posisi selimut, Bonnie dikagetkan oleh kehadiran seseorang di sisinya. Tak salah lagi. Sisi tempat tidur yang seharusnya terisi bantal, justru terasa lebih berat seolah ada yang berbaring di sana. Perlahan Bonnie menoleh. Sebelum dia dapat memastikan apa- atau siapa yang berbaring di sebelahnya, sebuah suara terdengar.

"Pengkhianat tidak berhak bahagia." Suara itu berbisik.

Sekujur badan Bonnie merinding. Napasnya tiba-tiba jadi berat. Orang itu bergerak lebih dekat. Bonnie bersumpah dapat merasakan embusan napasnya. Di sebelah telinga Bonnie, pemilik suara itu kembali berbisik.

"Pengkhianat harus menerima ganjarannya..."

Bonnie memaksakan dirinya untuk melihat ke samping. Seketika ia tercekat. Erika berbaring di sampingnya. Wajah Erika hampa, kulitnya pucat, seolah tak bernyawa. Oh, benar. Erika memang sudah meninggal bertahun-tahun lalu.

"Bonnie... pengkhianat..."

Bonnie ingin menghindar, tapi tubuhnya mendadak lumpuh. Matanya membelalak terlalu lebar hingga sebulir air mata turun membasahi rambut.

Di lain pihak, Erika terus mendekat dengan tatapan kosongnya. Gaun putih berbahan katun yang ia kenakan tampak basah kuyup. Rambutnya juga. Lumpur mengotorinya di mana-mana. Warnanya sangat kontras dengan kulit Erika yang pucat.

"Pengkhianat..." Tangan dingin Erika tiba-tiba berada di sekeliling leher Bonnie yang dikuasai ketakutan hebat, sehingga Bonnie berteriak sekuat tenaga.

Seseorang memanggilnya di kejauhan.

"Ibu?" pikir Bonnie.

"Bonnie, Nak! Bonnie!!!"

Bonnie tersentak hingga terduduk bangun dengan napas terengah. Pak Phillip duduk di sebelahnya dilengkapi raut khawatir. Beliau memegangi kedua pundak Bonnie seakan cemas putrinya tiba-tiba kabur.

"Bon?" Pak Phillip melambai di depan wajah Bonnie.

"Ayah?" Akhirnya Bonnie dapat menemukan suaranya. "Kenapa Ayah di sini?"

Pak Phillip menghela napas lega dan menurunkan tangannya. Beliau menunjuk jendela yang terang benderang.

"Kamu nggak pernah bangun siang. Sewaktu Ayah mau ngetuk pintu buat bangunin, Ayah dengar kamu teriak-teriak. Ayah khawatir terjadi sesuatu," ungkap Pak Phillip. "Kamu mimpi buruk?"

Bonnie mengangguk. Gerakannya kaku.

"Kamu memimpikan apa sampai ketakutan begini, Nak?"

"Bonnie... nggak ingat," jawab Bonnie pelan. Keringat telah membanjiri tubuhnya. Ia memejamkan mata untuk menenangkan diri. Mimpi yang menakutkan. Dia ingat dengan jelas rupa Erika. Baju yang terakhir dikenakannya. Sudah lama Bonnie tak bermimpi senyata ini. Kengerian masih terasa di setiap jengkal kulitnya. Demi tidak membuat sang ayah cemas, Bonnie menutupinya. Lagipula, Pak Phillip tak akan mengerti.

"Minum dulu, supaya perasaanmu enakan." Pak Phillip mengambilkan segelas air dari nakas.

Bonnie langsung minum hingga seluruh isinya tandas. Begitu selesai, ia merasa baikan.

LOVE + PROPHECY (New Edition)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora