08 | THE CHARIOT

478 95 47
                                    

Arah yang Dituju

Mereka mengunjungi kediaman Arleen esok harinya. Setelah berjam-jam dibiarkan menunggu di depan gerbang, mereka diizinkan masuk ketika hari mulai sore. Ali jengkel luar biasa. Dia mengomel terus sepanjang perjalanan dari gerbang sampai Volkswagennya diparkirkan. Begitu dipersilakan masuk ruang tamu dan bertemu Arleen, Ali tiba-tiba berubah menyanjung Arleen dan memuji rumah mewahnya. Melupakan segala keluhan. Perubahannya ekstrem 180 derajat.

Satu-satunya outfit normal yang bisa dipilih Bonnie dari lemarinya adalah sepasang kaus serta celana panjang berbahan campuran sutra dan satin yang bermotif tabrak warna penuh aksen khas Pulau Lamu, Kenya. Itu adalah oleh-oleh dari orangtuanya ketika mereka melakukan perjalanan untuk merayakan anniversary ke Afrika Timur. Meski menurut Ali tampak paling normal di antara koleksi baju Bonnie yang lain, tapi bagi Bonnie, baju itu membuatnya kelihatan seperti brosur berjalan.

Menganggap ini sebagai kesempatannya untuk pamer baju baru, Ali memilih outfit yang serasi dengan Bonnie. Sepasang setelan beludru warna coklat keemasan yang mewah, dilengkapi dengan kerah berlekuk dan sweater rajut berbahan sejuk di baliknya.

"Seperti yang sudah saya jelaskan di awal tadi, tujuan kami datang kemari murni untuk menunjukkan penyesalan atas pelayanan yang dianggap kurang menyenangkan kemarin," ucap Ali.

Bonnie hanya menunduk di sebelahnya. Wajah Bonnie terlindung di balik masker KN95 serta rambut yang sengaja diurai. Dia tak ingin dikenali, makanya memilih outfit yang berbeda dari gayanya yang biasa.

Arleen, yang berpenampilan paling normal di ruangan itu dengan mengenakan blouse desain pussy-bow keluaran rumah mode ternama, tampak melipat tangannya di depan dada. Blouse itu dibelinya setelah melihat Kate Middleton dari tabloid, mengenakan atasan yang sama ketika melakukan kunjungan sosial ke sebuah panti asuhan.

"Saya merasa Madame nggak menganggap serius masalah saya," tukas Arleen.

Ali dan Bonnie kompak menggeleng dalam harmoni.

"Sebaliknya, Bu Arleen... Madame sangat serius. Interpretasinya kemarin belum selesai dibacakan, tapi Bu Arleen keburu pergi-"

"Kok kamu jadi gaslighting saya, sih?" Nada Arleen meninggi.

"Saya minta maaf," sahut Bonnie cepat sebelum Ali sempat membelanya. "Dari lubuk hati terdalam, saya minta maaf. Kemarin saya kurang peka dengan kondisi Bu Arleen sampai bikin Bu Arleen salah paham." Ia membuat suaranya lebih berat dari biasanya agar penyamarannya optimal.

"Kamu juga Madame. Ngapain pake masker segala? Khawatir saya bocorin identitas kamu?" Arleen mendengkus sinis.

Bonnie terbatuk-batuk. "Saya lagi flu berat."

Mendengar itu, Arleen bergerak tak nyaman di kursi yang letaknya berseberangan dengan sofa yang diduduki Ali dan Bonnie. Gelagatnya seperti ingin menjauh, berharap virus Bonnie tak menularinya.

"Kliennya Madame rata-rata suka berspekulasi. Dan kami mengira Bu Arleen ini berbeda, lho." Ali geleng-geleng kepala kecewa. "Kalau tahu begini, saya nggak akan terima kerjasama Madame dengan Bu Arleen. Pihak kami merasa dirugikan juga dengan asumsi Bu Arleen yang mengira Madame bersikap buruk, padahal sebenarnya tidak. Permintaan maaf Madame dianggap ... apa tadi namanya? Gaslighting?"

Arleen mengerjap. Tak mengerti alasan dirinya berubah jadi pihak yang telah merugikan Madame Majo dalam sekejap.

"Madame bela-belain datang kemari padahal dia lagi sakit," lanjut Ali. "Demi menunjukkan kalau Madame profesional karena nggak ingin permohonan maafnya diwakilkan oleh siapa pun."

LOVE + PROPHECY (New Edition)Where stories live. Discover now