09 | THE HIEROPHANT

460 108 39
                                    

Sebuah Nilai

Penampakan sang ibu dalam foto pernikahan Arleen dan Rudi Mario membuat Bonnie gelisah setengah mati. Seolah tak cukup dengan adanya kemungkinan Bonnie mengungkap sebuah kasus pembunuhan, kini ibunya justru terlibat. Tidak, tunggu. Terlalu sembrono jika dia menyimpulkan begitu.

Selagi Ali mengebut pulang ke rumah, Bonnie menyandarkan kepalanya lalu memejamkan mata untuk menenangkan diri.

Dia ingat pernah membenci ibunya pada suatu masa. Dipicu oleh penolakan dari sekeliling, Bonnie menyalahkan sang ibu atas pandangan orang lain yang menganggap dirinya aneh dan tak pantas bergaul dengan siapa-siapa. Mereka bilang ibunya adalah wanita gila. Seorang dermawan yang selalu mengundang gelandangan ke rumahnya. Para warga tak nyaman karena dihantui rasa was-was. Saat itu, gelandangan identik dengan pelaku kejahatan seperti perampokan dan penjarahan.

Bonnie tak mengerti alasan ibunya selalu punya waktu, uang, dan tenaga untuk para gelandangan itu, tapi tidak untuknya. Mereka diajarkan filosofi, keterampilan, dan diberi kesempatan untuk memperbaiki hidup mereka dengan bekerja di tempat yang bekerjasama dengan dinas sosial.

Gara-gara mereka, rumah jadi bau, bahan makanan cepat habis, lantai dan perabotan jadi kotor. Yang paling parah... Bonnie jadi orang asing di rumahnya sendiri. Sudah tidak diterima oleh teman-teman sebaya, sekarang pun harus berbagi segalanya dengan para gelandangan yang datang silih berganti.

"Menurutmu," Ucapan Ali membuat Bonnie kembali membuka matanya. "Apa Arleen itu orang yang selalu percaya takhayul?"

Bonnie menoleh karena ingin mendengar yang ingin dikatakan Ali selanjutnya.

"Maksudku, daripada membayar kamu buat nyari tahu tentang perselingkuhan suaminya, kenapa dia nggak bayar detektif swasta aja buat menyelidiki?" lanjut Ali tanpa mengalihkan konsentrasi pada jalan.

"Dia paranoid." Bonnie ikut memandangi jalanan yang lengang di depan mereka. "Dia takut suaminya tahu dan mengumpulkan bukti-bukti kalau dia diuntit. Sepertinya dia takut diceraikan. Sedangkan kalau minta bantuanku, nggak akan ada bukti kalau suaminya diselidiki sejauh itu. Well, kecuali bukti transaksi kita tentunya."

Alis Ali terangkat tinggi. "Kalau takut bercerai, kenapa dia bersikeras ingin nyari tahu?"

"Mungkin dia takut kehilangan hal-hal yang dia miliki saat ini. Dia nyari tahu karena nggak ingin gelisah sepanjang waktu. Kayaknya Arleen sudah punya rencana. Meminta bantuan ke orang sepertiku cuma sebuah langkah dasar untuk memulai."

Ali bergumam takjub. "Kamu bisa tahu semua itu cuma dari beberapa kali pertemuan dengannya?"

"Aku mengobservasi, Al. Nggak semua hal bisa dibaca dengan tarot. Mengamati orang yang butuh jasaku adalah salah satu cara untuk tahu bagaimana dia menjalani hidupnya selama ini."

"Tapi tetap aja, Bon. Kurasa hal-hal sedalam itu nggak bisa diketahui seseorang dalam waktu singkat kayak kamu. Terkadang bakatmu bikin aku merinding."

Bunyi notifikasi di ponsel Bonnie menarik perhatian keduanya. Bonnie segera membaca pesan yang dikirimkan oleh ayahnya.

"Siapa?" tanya Ali penasaran.

"Ayah. Katanya baru pulang agak larut. Dapat jadwal kereta paling terakhir." Bonnie mengetik cepat balasan lalu memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. "Ada yang pengen kulakukan hari ini, Al."

"Apa?"

Ekspresi Bonnie membuat Ali sedikit curiga.

***

Berkendara selama tiga jam membawa keduanya menuju sebuah perairan bekas bendungan sungai yang dulu pernah menjadi sumber air bagi warga sekitar. Lokasinya dikelilingi bukit-bukit gersang, jauh dari rumah penduduk. Sejak satu dekade lalu, wilayah ini ditinggalkan para penghuninya karena telah dibeli oleh pengembang yang kini berstatus pailit. Selain bangunan-bangunan bekas rumah warga yang terbengkalai, tak ada lagi bangunan di sekitar sana. Penerangannya juga minim. Saking gelapnya, Ali dan Bonnie tak langsung turun dari mobil yang mesinnya masih menyala.

LOVE + PROPHECY (New Edition)Where stories live. Discover now