01 - KEHILANGAN SEGALANYA

103 18 4
                                    

Halilintar menatap kosong ke arah jendela. Hujan masih mengguyur deras, seolah turut menangisi kepedihan yang menyelimuti hatinya. Sudah seminggu berlalu sejak pemakaman kedua orangtuanya, namun rasa kehilangan itu masih terasa begitu menyakitkan.

Biasanya, di saat-saat seperti ini, Halilintar akan menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas. Ia akan berlatih bela diri, membaca buku-buku tebal, atau menghabiskan waktu di perpustakaan. Namun, kini semua itu terasa hampa. Tak ada lagi gairah hidup yang selama ini menjadi ciri khasnya.

Halilintar menghela napas berat. Ia merasa kehilangan segalanya - orang tua yang sangat dicintainya, semangat hidup, bahkan jati dirinya sendiri. Semuanya seolah lenyap, terhapus oleh kepedihan yang tak kunjung usai.

Perlahan, Halilintar mengepalkan tangannya. Sorot matanya yang biasanya tajam dan penuh determinasi kini meredup, tergantikan oleh pandangan kosong dan hampa. Ia merasa tak lagi memiliki tujuan hidup. Semuanya terasa begitu hampa dan tak bermakna.

Halilintar beranjak dari tempatnya, melangkah gontai menuju kamarnya. Ia butuh kesendirian, ingin menyendiri dan merenung, mencoba memahami apa yang terjadi pada dirinya. Namun, baru saja ia mencapai pintu, suara isakan lirih terdengar dari ruang tengah.

Taufan. Adiknya yang selalu ceria itu kini terduduk di sudut ruangan, air mata membasahi pipinya yang pucat. Halilintar terhenti, menatap Taufan dengan pandangan yang sulit diartikan. Biasanya, ia akan segera menghampiri Taufan, memberinya pelukan dan kata-kata penenang. Namun kali ini, Halilintar hanya berdiri terpaku, seolah tak lagi peduli.

Gempa, si adik tengah yang bijaksana, menghampiri Taufan. Dengan lembut, ia merangkul bahu Taufan, mencoba menenangkannya. "Kak Taufan, tenanglah. Kita harus kuat melewati ini bersama-sama," ujarnya lirih.

Halilintar memperhatikan interaksi itu dalam diam. Biasanya, ia akan ikut serta, membantu Gempa menenangkan adik-adiknya. Namun kali ini, ia hanya berdiri di sana, seolah tak lagi peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya.

Blaze, si bungsu yang enerjik, menatap Halilintar dengan pandangan penuh harap. "Kak Hali, ayo kita latihan bela diri seperti biasa. Aku ingin jadi kuat sepertimu," ajaknya dengan suara bergetar.

Namun, Halilintar hanya menggeleng pelan. "Tidak, Blaze. Aku sedang tidak ingin melakukan apa-apa," ujarnya datar, tanpa emosi.

Blaze tertegun, matanya membulat tak percaya. Selama ini, Halilintar selalu menjadi sosok yang kuat dan diandalkan. Namun kini, ia terlihat begitu rapuh, seolah kehilangan semangat hidup.

Ice, adik kembar Blaze, menatap Halilintar dengan sorot mata penuh kekhawatiran. Ia bisa merasakan perubahan yang terjadi pada sang kakak sulung. Perlahan, ia mendekati Halilintar, mencoba meraih tangannya. "Kak Hali, kami di sini. Kami akan selalu ada untukmu," ucapnya lembut.

Namun, Halilintar hanya menepis tangan Ice dengan kasar. "Tinggalkan aku sendiri," gumamnya, sebelum berbalik dan melangkah masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan adik-adiknya yang terpaku dalam kebingungan dan kekhawatiran.

Halilintar menutup pintu kamarnya dengan keras, seolah ingin memutus koneksi dengan dunia luar. Ia bersandar di balik pintu, merosot perlahan hingga terduduk di lantai. Tubuhnya bergetar, air mata yang sedari tadi ditahannya kini mengalir deras membasahi pipinya.

"Bunda ... Ayah ...," lirihnya di sela-sela isakan. Halilintar merasa begitu kehilangan, seolah separuh jiwanya telah pergi bersama kepergian kedua orangtuanya. Ia merasa sendirian, tak berdaya menghadapi kenyataan yang begitu kejam.

Perlahan, Halilintar memeluk lututnya, mencoba mencari kenyamanan dalam kesendirian. Namun, bayangan wajah adik-adiknya yang penuh kekhawatiran terus menghantui pikirannya. Ia tahu, mereka juga terluka, sama seperti dirinya. Namun, Halilintar tak sanggup menghadapi mereka, tak ingin membagi beban kesedihannya.

THE LOST ELEMENTAL GUARDIANSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang