▪︎ 1. Masih dengan Sosok Itu ▪︎

84 20 27
                                    


Happy reading, untuk horor pertamaku:)



***


Aku mengerjap pelan beberapa kali guna menyesuaikan cahaya yang masuk ke pupilku. Setelahnya aku menyapu pandangan ke sekitar. Tembok kamar asrama sejauh mata memandang. Kualihkan perhatianku pada tempatku berpijak saat ini.

Ranjang keras asrama.

Aku mengernyit, bukankah tadi malam aku tergeletak di lantai sana? Lantas kenapa kini aku berada di ranjang?

Tunggu! Jangan bilang semalam itu hanya mimpi? Ah, tidak-tidak, mana mungkin mimpi. Apalagi rasanya nyata sekali. Dan lagi, ... aw! Punggungku benar-benar sakit. Entah berapa kali aku dilempar sosok itu.

Aku meringis pelan, seketika bulu kudukku meremang karena menyebutnya. Antara yakin dan tidak, bisa jadi sosok itu yang melakukannya. Setelah selesai menyiksaku, ia akan membawaku ke ranjang keras ini. Itu hanya pradugaku, karena aku sendiri percaya bahwa tidak ada orang yang akrab denganku di asrama ini. Apalagi untuk sekedar membantu dan masuk ke kamarku ... yah, aku yakin 100% orang-orang lebih memilih menjauh dari kamar pojok ini.

Tidak hanya itu, kejadian yang kualami ini bukan satu-dua kali. Melainkan sudah sangat sering. Yah, tapi tetap saja membuat aku tidak pernah terbiasa. Terlebih rasa sakit yang kuterima akan semakin parah dari hari ke hari. Seperti sekarang ini.

Jika kemarin-kemarin sosok itu hanya akan menakutiku dengan adegan ia mati, maka kali ini benar-benar melukai fisikku. Namun, tidak dapat dimungkiri bahwa aku bersyukur masih bisa waras dan memilih menetap untuk satu semester di asrama ini.

Kenapa aku memilih menetap? Orang bodoh mana yang senang dengan gangguan dari orang yang sudah mati gentayangan? Jelas tidak ada. Namun, aku harus tetap berada di asrama ini selama satu semester penuh karena aku sudah mengeluarkan cukup banyak uang untuk dapat masuk ke dalam bangunan ini.

Sebenarnya aku sempat akan mengambil tempat di indekos yang ada di Kelalik, tetapi sialnya sudah penuh duluan. Sempat juga aku akan mengambil indekos campuran di daerah Udayana, sayangnya aku lagi-lagi keduluan. Jangan tanya indekos di Gomong. Penuh. Sehingga pilihan satu-satunya yang dekat dari kampus adalah asrama milik kampus. Minusnya harganya cukup mahal untuk satu semester.

Aku melirik ke arah ponsel di atas nakas. Seingatku kemarin ponselku dalam keadaan mati karena aku tidak sempat mengecasnya. Namun, kenapa sekarang ....

Mataku melotot melihat ketikan pada ponsel. Aku segera menatap ke sekitar, mencari keberadaan sosok itu. Aku yakin ia ada di sini, karena ia terjebak di dalam kamar ini.

"Kamu di mana!" seruku kala tak mendapati sosok itu di sekitar kamar.

Tidak ada jawaban. Kembali aku berteriak, kali ini memanggil namanya.

"Gio! Mari kita bernegosiasi!"

Aku terlonjak manakala suara pintu seolah dibuka paksa dari luar. Belum lagi hembusan angin yang datang entah dari mana membuat pintu itu berdebam dan kembali tertutup rapat.

Aku berusaha bangkit dari posisiku. Tak kuhiraukan rasa sakit yang mulai menjalar dari kaki menuju punggungku. Ah, sial! Kaki kiriku kesemutan. Akhirnya mau tak mau aku diam di tengah-tengah, terduduk begitu saja. Aku meluruskan kaki. Seraya melirik ke sekitar.

Kosong. Tak ada aura hitam pekat yang kurasakan semalam. Entah bagaimana sosok itu bisa menyembunyikan dirinya sekarang.

Aku menghela napas pelan. Rasanya agak kecewa, padahal aku berniat serius membantunya kali ini. Meski aku belum tau bagaimana cara membantunya, tetapi aku sudah bertekad akan benar-benar membantu.

Jujur saja, aku lelah dengan siksaan ini. Ada kemungkinan yang lebih buruk lagi jika mendapat luka dari sosok itu. Ah, maksudku, dari Gio. Sosok yang hampir 4 minggu ini kerap menggangguku. Membuat kehidupan kuliah yang kudambakan berantakan begitu saja saat mempijakkan kaki di asrama tua ini.

"Hei, aku bisa merasakan keberadaanmu tau!" Aku berseru takut-takut, kala mataku menangkap sesuatu yang berpendar-pendar seperti gerakan melambai nyala api.

Satu detik, dua detik, tiga detik, sampai detik ke sepuluh, sesuatu dari balik tembok--seperti bayangan putih --keluar dari sana.

Awalnya aku biasa saja, tetapi begitu bayangan putih itu menunjukkan rupa solidnya, mataku membulat. Lantas berteriak keras saat di hadapkan kembali dengan adegan gantung diri itu.

Tak bisa dimungkiri, air mataku merembes keluar. Kali ini bukan karena takut dengan sosok hantu gentayangan itu, melainkan aku takut jika hal itu terjadi pada diriku sendiri.

Aku berusaha meraup udara sebanyak mungkin. Berharap sesak di dadaku berkurang. Sembari mengucap istigfar, karena tidak ada hal yang bisa kupikirkan kecuali itu.

Setelah beberapa saat, aku bisa tenang. Aku tidak habis pikir dengan Gio, ia seolah tau kelemahanku. Bahwa aku selalu takut akan kematian dengan cara tragis itu. Maka tidak heran jika aku selalu berdoa agar tetap waras di tengah kelebihan yang aku miliki.

Dret

Aku menolehkan kepala ke arah pintu. Seseorang muncul dari baliknya.

"Agusta?"

Aku terdiam. Jika saja aku tidak sadar bahwa ia manusia, mungkin aku sudah berteriak lagi. Namun, gerangan apa yang membuat orang ini menghampiri kamar pojok, yang padahal dihindari oleh penghuni asrama lain?

"Kamu ... gak apa-apa? Saya tadi sempat denger kamu teriak," tanyanya membuat aku mengangguk kikuk. Masih mencerna situasi.

"Oh, gak apa-apa ya." Lagi-lagi aku hanya mengangguk. Mulutku terasa berat untuk menyahut. Orang itu pergi setelah memastikan tidak ada apa-apa. Namun, kepergian orang itu berganti dengan kedatangan suara lemari yang dibuka kasar. Menimbulkan suara berdebum yang memenuhi ruangan.

Aku meneguk ludah dengan susah payah. Perutku pun rasanya melihat saking takutnya akan melihat sesuatu yang lebih mengerikan. Apakah ia memang tak ingin bernegosiasi?

***


Penunggu Kamar Pojok Asrama Where stories live. Discover now