▪︎ 12. Potongan Fakta ▪︎

35 17 1
                                    

Ahay tumben up pagi nih, yuk lah happy reading💗

Koreksi for typo~


***


Habis sholat jumat, aku tak kembali ke asrama. Aku memilih mampir ke kos bang Sio yang ada di Kekalik Jaya. Bertepatan juga dengan aku yang sholat jumat di masjid sana. Sengaja, karena ingin mencoba suasana baru selain di masjid kampus. Tak hanya itu, aku juga sedang pengin makan geprek, makanya aku ikut bang Sio yang kutemui di kampus secara tidak sengaja.

Kini aku duduk selonjoran di teras depan kamar bang Sio. Menunggu laki-laki dengan wajah rupawan—yang kata teman-temanku yang cewek—mirip dengan Oppa Korea yang ku tak ingat namanya. Maklum, penyebutan nama mereka itu susah. Masih mending jika berupa singkatan, seperti nama DK, JK, dan lain-lain.

Eh, jangan salah. Aku mengetahui singkatan itu dari Nabila, karena cewek itu kerap kali bercerita dengan Heni tentang idol-idol kebanggaannya itu. Yah, meski aku terbilang sering curi dengar, tetapi tetap saja aku tidak mengenal mereka. Boro-boro menggeluti dunia seperti itu, dunia per-setan-an ini saja sudah membuatku muak. Adakalanya memang aku butuh healing ke tempat-tempat wisata populer di Lombok ini.

"Gus, jadi beli geprek?"

Sontak aku menoleh ke sumber suara. Bang Sio ternyata sudah selesai dengan aktivitas buang hajatnya. Er, ini tidak sopan sih, tapi ya aku jujur saja.

"Jadi, Bang. Mau beliin saya?" tanyaku sambil menunjukkan deretan gigi.

"Enak aja, ikutlah! Saya gak tau kamu suka geprek yang gimana. Banyak penjual geprek soalnya di Kekalik ini, tutup mata pun bisa milih mau yang mana," jawabnya membuat aku menyengir lebar. Ada-ada saja katingku satu ini. Tidak heran jika banyak yang suka terhadapnya.

"Kita jalan kaki?" tanyaku sebelum menyetujui untuk ikut atau tidak.

"Iyalah. Memang kamu mau pakai motor? Deket lok, itu di depan ada." Bang Sio mengarahkan tangannya pada pintu masuk kos yang berupa gang kecil.

Mau tak mau aku mengangguk, menyetujui untuk ikut. Siapa tahu ada jajanan lain yang menarik perhatian untuk dibeli. Seingatku juga, ada penjual jajanan serba seribu di depan SD itu. Kemungkinan nanti aku akan mampir di sana.

Akhirnya, aku dan bang Sio keluar dari kos menuju salah satu warung geprek yang tak terlalu ramai. Warung itu memiliki tempat duduk di dalam ruangan, sementara yang di luar adalah gerobaknya.

"Kamu mau makan di mana, Gus?" tanya bang Sio begitu kami mengambil antrian di belakang mbak-mbak berhijab navy.

"Enaknya di mana, Bang?" Aku bertanya balik, seraya melongokkan kepala melihat ke dalam ruangan. Berusaha melihat tempat duduk yang strategis jika akan makan di warungnya.

"Di kos aja, biar bebas sambil ngobrol." Aku mengangguk saja, tak masalah. Makan di mana pun, asal tetap baca doa.

***

Sekembalinya aku dan bang Sio  dari perburuan geprek dan jajanan, kini kami sudah duduk bersila di teras depan kos. Mulai menyantap makanan masing-masing. Tentu tak lupa aku mengingatkan bang Sio untuk berdoa. Sebab aku tak ingin melihat lagi 'sesuatu' yang tanpa izin makan bersama dengan orang yang tidak baca doa.

"Gus, saya penasaran deh."

"Apa, Bang?" tanyaku sebelum menyuapkan nasi lagi ke mulut.

"Kenapa kamu betah di asrama? Padahal kamu bisa ngekos di tempat lain," katanya membuat aku mengernyit, tak paham maksudnya.

"Apa belum ada yang cerita ke kamu kalo asrama adalah tempat angker?" Bang Sio meletakkan piringnya, kemudian menoleh ke sana ke mari sebelum kembali menatapku. "Kamu gak tau kalo Gio mati di sana?"

Aku menggeleng pelan, bukan tak tau. Bahkan aku teramat tau. Buktinya aku sekarang sedang pusing perkara file rahasia yang disebut oleh bang Budi itu. Entah bagaimana cara membukanya.

"Tau dari mana, Gus?" tanya bang Sio, kini kembali mengambil piringnya.

"Dari bang Budi. Dia sahabatnya, 'kan?"

Bang Sio mengangguk, "Bener. Tapi kamu tau gak? Ada fakta lain yang saya denger dari salah satu temen kelas saya."

"Fakta apa, Bang? Kalo aneh-aneh sih, mending gak usah dipercaya," balasku seraya melambai singkat.

"Sebelum Gio bundir, katanya dia ada konflik sama Budi. Saya sih gak tau, karena gak terlalu deket sama mereka berdua. Lagipula hari itu, Gio absen jadi kami gak tau bakal ada kejadian kayak gitu."

Aku mengangguk-angguk, seolah menemukan potongan cerita yang hilang. Meski baru potongan pertamanya.

"Eh, terus bang Budi hari itu gimana? Apa gak terpukul ya abis berantem sama almarhum, pasti merasa banget bersalahnya," ucapku yang entah kenapa kepikiran hal itu.

Tiba-tiba bang Sio tertawa renyah. Aku mengerutkan dahi, dibuat heran dengan orang ini.

"Budi gak tau, Gus. Dia hari itu ada urusan sama dosen, biasalah ya urusan anak mau magang, jadi sibuk banget. Makanya dia taunya pas Gio udah dimakamkan, karena gak ada yang sempat ngasih tau dia," jelas bang Sio setelah meredakan tawanya.

"Kasihan juga ya." Aku menggeleng-geleng kecil. Tak kebayang bagaimana rasanya menjadi bang Budi. Tidak sempat mengucap maaf sekaligus salam perpisahan pada temannya satu itu.

"Em, tapi Bang, tau gak cerita validnya kenapa almarhum ditemuin dalam keadaan seperti itu?" tanyaku teringat akan misiku untuk menyelesaikannya.

Bang Sio mengangkat bahu, "Saya kurang tau, Gus, tapi dari yang saya denger salah satu orang di asrama itu gak sengaja izin mau minjem casan laptop. Mungkin temennya yang akrab sama dia."

"Side tau orangnya?" tanyaku penasaran.

Sayangnya, jawaban yang kuharapkan tidak tercapai. Sebab bang Sio menggeleng pelan, yang artinya ia sama tidak taunya denganku.

"Tapi Gus, buat apa kamu tau tentang Gio?

***

Penunggu Kamar Pojok Asrama Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang